
Menteri Kebudayaan Fadli Zon bersama para musisi legendaris Indonesia saat jumpa pers usai kegiatan Tribute Musisi-Penyanyi Legendaris 1960-an (Foto: Ist/Jurnas)
Jakarta, Jurnas.com - Menteri Kebudayaan (Menbud), Fadli Zon, bersikukuh enggan menggunakan istilah perkosaan massal untuk kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat pada peristiwa kelam Reformasi 1998.
Dalam siaran pers yang diterima Jurnas.com pada Selasa (17/6), dia menekankan pentingnya keberanian untuk melihat sejarah secara jernih, tanpa kehilangan empati sekaligus tidak menanggalkan akal sehat.
"Setiap luka sejarah harus kita hormati. Tapi sejarah bukan hanya tentang emosi, ia juga tentang kejujuran pada data dan fakta," kata Menteri Fadli.
Menteri Fadli tak menyangkal bahwa ada aksi perkosaan dalam tragedi Mei 1998 berdasarkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Namun, dia mempertanyakan predikat `massal` dalam peristiwa tersebut.
"Ini bukan soal menyangkal korban. Ini soal menghindari penyimpulan yang terlalu cepat, yang justru bisa membuat luka makin dalam dan kebenaran makin kabur," ujar Menteri Fadli.
"Empati tidak harus emosional. Empati juga berarti memastikan bahwa setiap peristiwa dipahami dalam proporsinya yang benar, agar keadilan bisa ditegakkan tanpa keraguan," dia menambahkan.
Sementara itu, Menko PMK, Pratikno dalam pernyataan terpisah mendukung Menteri Fadli yang mempertanyakan penggunaan istilah `massal` yang secara akademik menurut dia masih diperdebatkan.
"Fokusnya bukan ada atau tidak adanya kekerasan, tapi soal terminologi yang digunakan. Itu harus kita bedakan agar tidak terjadi salah paham," ujar Pratikno.
KEYWORD :Menteri Kebudayaan Fadli Zon Perkosaan Massal Reformasi 1998