
Ilustrasi pemborosan uang (Foto: Oscmedcom)
Jakarta, Jurnas.com - Dalam Islam, berfoya-foya atau pemborosan bukan sekadar tindakan menghabiskan harta secara sembrono. Ia merupakan gejala spiritual yang dalam dan serius. Bahkan, dalam Al-Qur’an, orang yang boros atau pemboros disebut sebagai saudara setan. Ungkapan ini tertuang jelas dalam firman Allah SWT dalam Surat Al-Isra ayat 27:
“Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan. Dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”
(QS Al-Isra: 27)
Pernyataan ini mengandung peringatan keras. Allah tidak hanya melarang pemborosan, tetapi juga mengasosiasikannya dengan karakter setan—makhluk yang paling ingkar, paling rusak, dan paling jauh dari kebenaran. Maka pertanyaannya: mengapa pemboros bisa dikatakan sebagai saudara setan? Berikut adalah ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.
Dalam tafsir Kementerian Agama, ayat ini merupakan lanjutan dari perintah untuk menunaikan hak kerabat, orang miskin, dan musafir. Artinya, pengelolaan harta dalam Islam bukan hanya urusan pribadi, melainkan juga kewajiban sosial. Saat seseorang memilih membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang tidak berguna dan mengabaikan mereka yang membutuhkan, ia telah menyimpang dari tujuan utama harta sebagai amanah.
Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa tabdzir adalah tindakan menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaat atau tidak semestinya. Bukan soal jumlahnya, tetapi soal arah dan dampaknya, demikian dikutip NU Online.
Bahkan bila hanya sedikit, jika digunakan secara tidak tepat, itu tetap dikategorikan sebagai pemborosan. Inilah mengapa Rasulullah SAW menegur sahabatnya, Sa’ad, ketika berwudhu secara berlebihan, meskipun menggunakan air dari sungai yang mengalir. Tindakan itu tetap dianggap mubazir.
Penggunaan kata “saudara setan” menunjukkan kedekatan dalam sifat. Pemboros dan setan sama-sama tidak menghargai nikmat, tidak bertanggung jawab atas apa yang dimiliki, dan menolak prinsip-prinsip kebaikan. Setan adalah simbol ketidakteraturan, kesia-siaan, dan pemberontakan terhadap Allah. Maka, siapa pun yang menggunakan rezekinya secara sembrono dan menjauhi nilai manfaat, berarti meniru karakter tersebut.
Islam tidak melarang orang untuk kaya. Bahkan, banyak sahabat Rasulullah SAW yang berharta, namun mereka menggunakan kekayaannya untuk kepentingan umat. Sayyidina Abu Bakar pernah menyumbangkan seluruh hartanya untuk jihad, dan Sayyidina Utsman menyumbangkan separuh hartanya. Rasulullah tidak menyebut mereka sebagai pemboros karena harta tersebut digunakan untuk sesuatu yang diridhai Allah. Ini menjadi penegasan bahwa boros bukan diukur dari banyaknya pengeluaran, melainkan dari apakah pengeluaran itu tepat sasaran atau tidak.
Islam menekankan prinsip keseimbangan dalam segala hal, termasuk dalam urusan keuangan. Dalam QS Al-Furqan ayat 67, Allah memuji hamba-Nya yang ketika menginfakkan harta, tidak berlebihan dan tidak pula kikir. Mereka membelanjakan dengan wajar, proporsional, dan penuh pertimbangan. Ini adalah cermin dari mentalitas yang bertanggung jawab dan sadar akan hakikat rezeki sebagai titipan.
Di era modern, praktik tabdzir bisa muncul dalam berbagai bentuk yang lebih halus: belanja impulsif, pamer kemewahan di media sosial, konsumsi barang mewah tanpa kebutuhan mendasar atau mendesak, hingga menghabiskan uang demi gengsi. Semua ini bisa mengarah pada gaya hidup mubazir yang tidak lagi mempertimbangkan maslahat atau kebermanfaatan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah SAW menasihati seorang sahabat yang memiliki banyak harta agar tidak hanya fokus pada zakat, tetapi juga menjaga silaturahmi, membantu tetangga, dan peduli kepada orang miskin. Ini menunjukkan bahwa keberkahan harta tidak ditentukan oleh seberapa banyak yang dimiliki, melainkan bagaimana dan untuk apa harta itu digunakan.
Dengan demikian, pemborosan dalam pandangan Islam bukan semata soal ekonomi, tapi juga masalah akhlak dan iman. Ketika seseorang boros, ia tidak hanya merugikan dirinya, tapi juga menutup akses rezeki yang seharusnya bisa sampai kepada orang lain yang membutuhkan secara tepat sasaran. Ia juga mencerminkan sikap lalai terhadap nikmat Allah dan kehilangan orientasi hidup yang berlandaskan kebermanfaatan.
Dengan menyebut pemboros sebagai saudara setan, Islam ingin mengingatkan umat bahwa pemborosan bukan hanya tidak bijak, tapi juga `menyesatkan`. Mengelola harta dengan bijak, penuh tanggung jawab, dan sesuai kebutuhan merupakan bagian dari ibadah. Itu merupakan bagian jalan yang menjauhkan seseorang dari sifat setan, dan mendekatkannya kepada ridha Allah SWT. (*)
Wallohu`alam
KEYWORD :Pemboros disebut saudara setan Tabdzir dalam Islam Pemborosan menurut Islam