Selasa, 17/06/2025 03:13 WIB

Mahrus Ali Ungkap Ulil Absar Abdallah Salah Kaprah Memaknai Maslahat dan Mafsadat

Mahrus Ali Ungkap Ulil Absar Abdallah Salah Kaprah Memaknai Maslahat dan Mafsadat

Pegiat lingkungan Mahrus Ali. (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Pegiat lingkungan Mahrus Ali turut mengomentari pernyataan salah satu pengurus di PBNU, Ulil Absor Abdalla terkait tambang. Menurutnya, Ulil terlihat menyederhanakan konsep maslahat dalam konteks eksploitasi sumber daya alam, khususnya tambang nikel di Papua.

“Ia (Ulil) tampaknya lebih memihak pada logika pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan makro, ketimbang memikirkan kemaslahatan ekologis dan keberlanjutan hidup masyarakat lokal. Ini adalah bentuk penyempitan makna maslahat yang berbahaya,” kata Mahrus Ali di Jakarta, Senin, 16 Juni 2025.

Padahal, lanjut Mahrus, dalam maqashid al-syari’ah, maslahat bukan sekadar pertumbuhan ekonomi negara, tapi perlindungan terhadap kehidupan (hifzh al-nafs), akal, keturunan, harta, dan juga lingkungan yang menjadi penopang semua itu.

“Menggambarkan tambang nikel sebagai bentuk maslahat adalah pemutarbalikan realitas,” tambahnya.

Di Papua dan kawasan timur Indonesia lainnya, imbuh Mahrus, eksploitasi tambang nikel justru menyebabkan kerusakan masif terhadap ekosistem laut, pencemaran sungai, serta deforestasi besar-besaran yang menghancurkan hutan adat. Bagi masyarakat adat, hutan bukan sekadar kawasan hijau, melainkan ruang spiritual, sumber pangan, dan identitas budaya. Menebang hutan berarti memutus rantai kehidupan mereka.

“Maka ketika Ulil berbicara soal maslahat ekonomi, yang ia bela sejatinya adalah kepentingan korporasi tambang, bukan masyarakat Papua,” imbuhnya.

Ironisnya, lanju Mahrus, kerusakan yang terjadi akibat tambang justru berdampak langsung pada kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat kecil. Laut yang tercemar limbah tambang merusak habitat ikan dan biota laut yang menjadi tumpuan hidup masyarakat adat. Tanah yang digusur untuk pembangunan smelter dan jalan tambang memaksa masyarakat adat kehilangan lahan garapan dan sumber pangan tradisional. Ini bukan kemaslahatan, tapi mafsadah (kerusakan) yang nyata.

“Dalam pandangan Islam yang berorientasi pada keadilan ekologis, seperti yang pernah digaungkan oleh tokoh seperti KH. Ali Yafie, Gus Abdul Muhaimin Iskandar tentang taubat ekologis bahwa menjaga bumi adalah bagian dari amanah khalifah fi al-ardh yang tak bisa dikompromikan oleh dalih pembangunan semata,” lanjutnya.

Menurut eks Ketua LAKPESDAM PCNU Lamongan, pernyataan Ulil yang mengabaikan fakta-fakta ekologis ini justru bisa menyesatkan publik. Seolah-olah tambang yang merusak lingkungan dan menggusur masyarakat bisa disucikan dengan jargon maslahat ekonomi. Ini mencerminkan pendekatan tekstual selektif yang mengabaikan realitas empiris.

Dalam kerangka fikih lingkungan yang lebih progresif, maslahat itu harus diselaraskan dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan antar generasi. Maslahat tidak boleh dibajak oleh elite ekonomi dan negara dengan mengorbankan hak-hak masyarakat adat dan ekosistem yang rentan.

“Sebagai intelektual yang mewakili PBNU, Ulil seharusnya menggunakan kapasitas berpikir kritisnya untuk membela kaum marjinal, bukan justru menjadi corong pembenar bagi model pembangunan eksploitatif. Bukankah maqashid syariah menuntut perlindungan terhadap kehidupan dan lingkungan secara menyeluruh? Menjaga laut Papua agar tidak tercemar, memastikan hutan adat tetap lestari, dan menjamin pangan masyarakat adat adalah bentuk kemaslahatan yang lebih autentik daripada mendukung tambang yang hanya menguntungkan investor,” tegas Mahrus.

Untuk itu, kata Mahrus, sudah saatnya para tokoh agama termasuk Ulil merevisi cara pandang terhadap konsep maslahat agar tidak jatuh dalam jebakan neoliberalisme berkedok agama.

“Kita membutuhkan tafsir maslahat yang berpihak pada rakyat, lingkungan, dan generasi masa depan, bukan pada industrialisasi serakah yang merusak tanah leluhur. Dalam konteks Papua, maslahat sejati adalah menjaga ekosistem, merawat hutan, dan memuliakan kehidupan masyarakat adat bukan memuluskan jalan bagi tambang nikel yang rakus,” tutupnya.

KEYWORD :

Mahrus Ali Tambang Maslahat Mafsadat




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :