Senin, 16/06/2025 17:27 WIB

Sejarah Regulasi Offside, Sejak Kapan Jadi Aturan Pertandingan?

Tak ada istilah dalam sepak bola yang lebih sering memicu perdebatan selain `offside`. Mulai dari stadion hingga warung kopi, keputusan offside kerap jadi sumber drama dalam setiap pertandingan.

Ilustrasi offside (Foto: BBC)

Jakarta, Jurnas.com - Tak ada istilah dalam sepak bola yang lebih sering memicu perdebatan selain `offside`. Mulai dari stadion hingga warung kopi, keputusan offside kerap jadi sumber drama dalam setiap pertandingan.

Namun, di balik gestur hakim garis yang mengangkat bendera itu, terdapat sejarah panjang yang membentuk aturan ini hingga menjadi bagian penting dari permainan modern.

Konsep offside sudah ada sejak abad ke-19, bahkan sebelum sepak bola resmi diatur secara terpusat. Pada 1863, saat Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) membakukan aturan pertama, ketentuan offside sudah tercantum di dalamnya.

Versi awalnya menyatakan bahwa seorang pemain dianggap offside jika berdiri di depan bola saat dikirimkan oleh rekan satu tim. Aturan tersebut begitu ketat sehingga nyaris mustahil melakukan operan ke depan.

Perubahan besar pertama terjadi pada 1866, ketika syarat offside diubah menjadi keharusan adanya tiga pemain lawan di antara penyerang dan gawang. Ini memungkinkan adanya operan ke depan dan mempercepat tempo permainan.

Namun, seiring berkembangnya taktik bertahan, terutama strategi `one-back game` yang memancing banyak pelanggaran offside, pertandingan mulai terasa membosankan. Penonton pun kehilangan antusiasme karena aksi menyerang terlalu sering dipatahkan sebelum mendekati kotak penalti.

Kondisi tersebut memicu desakan perubahan. Titik balik terjadi pada 13 Juni 1925, saat badan hukum sepak bola tertinggi, International Football Association Board (IFAB), menggelar pertemuan di Paris dan mengesahkan revisi penting.

Jumlah pemain lawan yang harus menghalangi posisi penyerang dikurangi dari tiga menjadi dua. Revisi ini berhasil menghidupkan kembali daya tarik permainan. Statistik gol di Liga Premier pada musim berikutnya melonjak drastis dari 2,5 menjadi lebih dari 3,4 gol per pertandingan.

Lompatan taktik pun segera menyusul. Pelatih legendaris Herbert Chapman menciptakan formasi W-M sebagai respons terhadap perubahan offside. Dengan tiga bek sejajar dan dua gelandang bertahan, pertahanan menjadi lebih fleksibel, sementara lini depan lebih agresif.

Pada 1990, IFAB kembali merevisi aturan, kali ini menyatakan bahwa seorang pemain dianggap onside jika sejajar dengan bek terakhir. Tujuannya adalah untuk mendorong permainan ofensif dan mengurangi jumlah pelanggaran offside pasif. Revisi ini dianggap bentuk reformasi terbesar sejak era pasca-Perang Dunia II.

Kini, di era teknologi, offside menjadi lebih rumit. Video Assistant Referee (VAR) memperkenalkan ketepatan digital dalam menilai posisi pemain. Garis virtual dan analisis milidetik menjadi acuan, meski tak jarang justru menambah kontroversi.

Pada 2025, IFAB kembali mengesahkan eksperimen baru, terinspirasi oleh usulan dari federasi Swedia, yang mengusulkan penyerang dinyatakan onside jika bagian tubuh manapun masih sejajar dengan bek terakhir.

Tujuan dari regulasi anyar ini ialah untuk memberikan keuntungan lebih besar kepada tim penyerang, sebuah respons atas keluhan bahwa VAR yang justru membatasi dinamika pertandingan.

Akhirnya, offside berkembang dari aturan kuno menjadi instrumen taktis yang menentukan irama permainan modern. Regulasi ini terus berevolusi untuk menjaga keseimbangan antara keindahan menyerang dan seni bertahan.

KEYWORD :

Regulasi Offside Fakta Unik Sepak Bola Wasit VAR




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :