Sabtu, 14/06/2025 09:26 WIB

Mengapa Gelar Haji Sangat Dihormati pada Masa Kolonial?

Pada masa kolonial Belanda dan Jepang, gelar

Ibadah haji di Mekah, Arab Saudi (Foto: Dok. Ditjen PHU)

Jakarta, Jurnas.com - Pada masa kolonial Belanda dan Jepang, gelar "haji" tak sekadar status keagamaan, melainkan simbol kekuatan sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Orang-orang yang pulang dari Tanah Suci dianggap sebagai pribadi yang luar biasa.

Namun, penghormatan terhadap orang yang baru pulang dari Tanah Suci bukan hanya karena ibadahnya. Di balik perjalanan spiritual itu tersimpan makna sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks.

Lantas, mengapa gelar haji begitu dihormati, bahkan disegani pada masa penjajahan? Bagaimana efeknya terhadap stabilitas pemerintahan kolonial? Berikut adalah ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.

Ibadah haji pada masa kolonial atau penjajahan merupakan perjalanan yang penuh tantangan dan risiko. Hanya segelintir orang dari golongan kaya dan berpengaruh yang mampu menunaikannya.

Keterbatasan akses transportasi dan tingginya biaya membuat haji menjadi sesuatu yang sangat langka. Karena itu, seseorang yang berhasil pergi dan kembali dari Mekkah langsung mendapat tempat terhormat di tengah masyarakat.

Selain sebagai bukti keteguhan iman, keberhasilan menunaikan haji juga menunjukkan kemampuan ekonomi yang tinggi. Sosok haji sering diasosiasikan dengan orang kaya, berwawasan, dan mampu menjadi panutan.

Mereka yang telah berhaji juga dianggap lebih berilmu karena memiliki kesempatan berinteraksi dengan ulama dan pelajar Muslim dari berbagai belahan dunia. Pengalaman spiritual ini memperluas wawasan keagamaan sekaligus memperkaya pandangan sosial-politik mereka.

Dalam masyarakat yang dijajah, pengalaman seperti ini menjadi modal sosial yang langka dan kuat. Haji bukan hanya soal ritual, tetapi juga menjadi medium kebangkitan kesadaran kolektif.

Pemerintah kolonial menyadari potensi ini dan mulai mencurigai para haji sebagai sumber agitasi politik. Kecurigaan itu diperkuat oleh banyaknya tokoh perlawanan yang berlatar belakang pendidikan Islam atau pernah menunaikan haji.

Perang Diponegoro misalnya, ditafsirkan sebagai jihad dan sangat mengguncang mental penjajah. Begitu pula Perang Padri, yang dipicu oleh gerakan purifikasi Islam dari Minangkabau yang terinspirasi dari pengalaman di Tanah Suci.

Karena itu, sejak awal abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan berbagai peraturan yang membatasi keberangkatan dan pemantauan terhadap jemaah haji. Ordonansi Haji tahun 1825, 1831, hingga 1859 menjadi instrumen politik kolonial untuk mengawasi umat Islam yang dianggap potensial memberontak.

Aturan-aturan itu meliputi pembatasan jumlah jemaah, pemberlakuan paspor dengan biaya tinggi, hingga ujian bagi mereka yang pulang untuk membuktikan keabsahan ibadahnya. Bahkan, mereka yang telah lulus ujian ini diwajibkan mengenakan atribut khusus seperti jubah dan kopiah putih, agar mudah diawasi.

Namun demikian, ketatnya pengawasan tidak serta-merta meredam semangat umat Islam untuk berhaji. Justru sebaliknya, haji menjadi bentuk perlawanan simbolik terhadap kolonialisme.

Pada saat kebebasan politik dan ekonomi dibatasi, haji menjadi ruang bebas yang masih bisa ditembus oleh umat Islam Nusantara. Mereka tidak hanya pulang dengan pengalaman spiritual, tetapi juga membawa gagasan-gagasan baru tentang dunia Islam dan semangat anti-penjajahan.

Hal inilah yang menjadikan gelar haji mendapat tempat istimewa di masyarakat. Orang-orang yang telah menunaikannya tidak hanya dihormati, tetapi juga dianggap sebagai pemimpin informal, penggerak moral, dan sumber inspirasi.

Sebagian dari mereka bahkan aktif dalam pergerakan sosial dan politik di tanah air. Keberadaan mereka memperkuat jaringan Islam transnasional yang memberi energi bagi perjuangan kemerdekaan.

Tak heran, Snouck Hurgronje, penasihat utama urusan Islam di Hindia Belanda, memperingatkan agar kebijakan haji tidak didasarkan pada ketakutan semata. Ia menyarankan agar pemerintah kolonial membedakan antara haji yang politis dan yang sekadar ritual.

Meski demikian, ketakutan kolonial tak pernah benar-benar hilang. Pemberontakan Sepoy di India pada 1857 yang melibatkan umat Muslim menambah kecemasan pemerintah Hindia Belanda terhadap potensi radikal dari kaum haji.

Mereka kemudian memperketat lagi regulasi dengan meminta jaminan finansial dan surat rekomendasi dari bupati bagi calon jemaah. Tujuannya agar haji hanya dilakukan oleh mereka yang dianggap aman dan bisa dikendalikan.

Namun, semua upaya itu tidak berhasil menurunkan semangat berhaji. Data menunjukkan jumlah jemaah terus meningkat setiap tahunnya, bahkan banyak yang tetap berangkat meski melalui jalur tak resmi.

Sebagian ada yang hanya sampai Singapura dan tetap menyandang gelar "Haji Singapura" dengan membeli surat palsu. Fenomena ini menunjukkan bahwa gelar haji memiliki nilai simbolik yang sangat tinggi di mata masyarakat.

Di tengah kondisi sosial-politik yang represif, gelar haji menjadi identitas yang memberi harga diri dan kehormatan. Maka tak mengherankan jika masyarakat memandang para haji sebagai `orang suci`, pemuka agama, sekaligus perwakilan kebebasan spiritual yang otentik.

Perlakuan hormat terhadap mereka juga diperkuat oleh kenyataan bahwa para haji biasanya terlibat dalam penyebaran dakwah dan pendidikan Islam. Mereka menjadi guru, penasihat, dan tokoh masyarakat yang dihormati lintas generasi.

Dengan demikian, kehormatan terhadap orang yang telah menunaikan haji pada masa kolonial bukan hanya soal ibadah. Ia merupakan gabungan dari kekuatan spiritual, simbol status, dan potensi perlawanan terhadap ketidakadilan.

Dalam lanskap sejarah kolonial, menjadi haji adalah bentuk keberanian, keteguhan iman, dan pernyataan identitas yang tidak bisa diabaikan oleh siapa pun—termasuk oleh penjajah. (*)

KEYWORD :

Haji zaman kolonial Gelar haji dihormati Sejarah haji Indonesia




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :