
Ilustrasi Hari Dunia Menentang Pekerja Anak (Foto: RRI)
Jakarta, Jurnas.com - Setiap tanggal 12 Juni, dunia memperingati Hari Menentang Pekerja Anak. Peringatan ini bukan sekadar seremonial, tetapi panggilan global untuk mengakhiri praktik yang merampas masa kecil jutaan anak.
Dikutip dari berbagai sumber, gagasan ini pertama kali dicetuskan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 2002. Tujuannya adalah untuk menyoroti betapa masif dan kompleksnya persoalan pekerja anak di berbagai belahan dunia.
Dalam perjalanannya, Hari Menentang Pekerja Anak menjadi bagian penting dari agenda global yang lebih besar, yaitu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Salah satu target SDGs, yakni Target 8.7, secara khusus menuntut penghapusan pekerja anak dalam segala bentuknya paling lambat tahun 2025.
Namun, realita di lapangan jauh dari ideal. Hingga kini, ILO mencatat lebih dari 160 juta anak di dunia masih bekerja, dan hampir separuhnya berada dalam kondisi yang membahayakan kesehatan dan keselamatan mereka.
Banyak dari anak-anak ini kehilangan hak dasar untuk bersekolah dan bermain. Mereka tumbuh dalam lingkungan penuh risiko, dieksploitasi secara ekonomi, dan terjebak dalam kemiskinan antargenerasi.
Pekerjaan yang dilakukan anak-anak bukan sekadar mengganggu pendidikan, tetapi juga mengikis kesempatan mereka membangun masa depan yang layak. Beberapa dari mereka bahkan terjebak dalam bentuk-bentuk kerja terburuk seperti kerja paksa, perdagangan manusia, dan konflik bersenjata.
ILO sendiri membedakan antara pekerjaan anak yang merugikan dan kegiatan produktif ringan yang justru mendukung perkembangan anak. Anak yang membantu orang tua di rumah atau bekerja paruh waktu dengan pengawasan bukan termasuk dalam kategori pekerja anak.
Namun, batasannya jelas: jika pekerjaan mengganggu sekolah atau membahayakan tumbuh kembang anak, maka itu adalah pelanggaran hukum internasional dan hak anak. Konvensi ILO No. 138 dan No. 182 telah lama menjadi dasar perlindungan global terhadap anak dari eksploitasi kerja.
Di Indonesia, tantangan serupa masih membayangi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023 tercatat 1,01 juta pekerja anak, atau 1,72 persen dari total anak usia 5 hingga 17 tahun.
Angka tersebut justru meningkat pada 2024 menjadi 1,27 juta anak, atau setara 2,17 persen. Kenaikan ini menjadi sinyal bahwa krisis pekerja anak di Indonesia belum juga berhasil ditekan.
Yang paling memprihatinkan, sebagian besar dari mereka berada pada rentang usia yang seharusnya masih wajib sekolah. Padahal, menurut UU No. 20 Tahun 1999, usia minimum bekerja di Indonesia adalah 15 tahun, kecuali untuk pekerjaan ringan dengan pengawasan dan waktu terbatas.
Kenyataan ini menggambarkan bahwa perlindungan hukum belum sepenuhnya berjalan efektif. Banyak anak masih terseret ke dunia kerja karena kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, dan lemahnya pengawasan.
Pekerja anak bukan sekadar statistik, melainkan wajah dari ketidakadilan struktural. Setiap anak yang kehilangan masa kecilnya karena harus bekerja adalah kegagalan kolektif kita sebagai masyarakat.
Itulah sebabnya, Hari Menentang Pekerja Anak seharusnya menjadi momentum untuk bertindak, bukan hanya mengenang. Upaya penghapusan pekerja anak membutuhkan peran semua pihak, mulai dari negara, pelaku usaha, hingga masyarakat sipil.
Dukungan terhadap pendidikan menjadi salah satu kunci utama. Masyarakat bisa ikut berkontribusi melalui beasiswa, relawan pendidikan, atau kampanye literasi yang menyasar keluarga rentan.
Selain itu, konsumen juga memiliki peran penting dengan menolak produk dari perusahaan yang terbukti mempekerjakan anak. Kampanye publik melalui media sosial juga dapat memperkuat tekanan terhadap pelaku eksploitasi dan mendorong regulasi yang lebih kuat.
Anak-anak bukan tenaga kerja murah, mereka adalah harapan masa depan. Mereka berhak atas perlindungan, pendidikan, dan lingkungan yang mendukung pertumbuhan optimal.
Maka pada setiap 12 Juni, mari kita hentikan normalisasi pekerja anak. Karena dunia yang adil dan berkelanjutan tidak mungkin terwujud selama masih ada anak yang kehilangan haknya untuk sekadar menjadi anak-anak. (*)
KEYWORD :Hari Dunia Menentang Pekerja Anak 12 Juni Hari menetang pekerja anak 2025