Jum'at, 13/06/2025 19:20 WIB

Selain Malahayati, Inilah 7 Pejuang Perempuan Aceh yang Tak Kalah Tangguhnya

Selain Laksamana Malahayati, Aceh juga melahirkan sederet pahlawan perempuan tangguh lainnya yang mengambil peran besar dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda dan Jepang

Ilustrasi Laksamana Malahayati (Foto: IG keana_film/Acehkini)

Jakarta, Jurnas.com - Tak hanya dikenal sebagai wilayah yang kaya budaya dan sejarah, Aceh juga tercatat sebagai daerah paling agresif dalam melawan penjajahan, baik dari Belanda maupun Jepang. Di balik semangat perlawanan itu, tak sedikit perempuan Aceh yang berani tampil di garis depan—bukan hanya sebagai penyokong, tetapi sebagai pemimpin pertempuran.

Salah satunya ialah Laksamana Keumalahayati atau dikenal Malahayati. Lahir pada 1 Januari 1550, Malahayati adalah perempuan pertama yang menjabat sebagai laksamana angkatan laut. Ia adalah cicit Sultan Salahuddin Syah dan putri dari Laksamana Mahmud Syah.

Namun, selain Laksamana Malahayati, Aceh juga melahirkan sederet pahlawan perempuan tangguh lainnya yang mengambil peran besar dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Mereka bukan hanya simbol keberanian, tapi juga pelopor emansipasi dalam medan tempur. Siapa saja mereka? Berikut adalah ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.

1. Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien, lahir pada 1848 di Lampadang, Aceh, dikenal sebagai pemimpin gerilya dalam Perang Aceh. Setelah suaminya, Teuku Umar, gugur, ia melanjutkan perlawanan dan memimpin perang sabil—perang suci melawan penjajah.

Cut Nyak Dien ditangkap Belanda pada 1906 dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, hingga wafat pada 1908. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres No. 106 Tahun 1964.

2. Cut Nyak Meutia

Lahir pada 15 Februari 1870, Cut Nyak Meutia dikenal karena keberaniannya memimpin perlawanan bersama suaminya, Teuku Chik Muhammad. Setelah suaminya gugur, ia terus melawan Belanda bersama pasukan kecil dengan hanya 13 senjata.

Ia gugur pada 24 Oktober 1910 dalam pertempuran di Paya Cicem. Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres No. 107/1964.

3. Teungku Fakinah

Memulai perjuangan pada usia 17 tahun dengan mendirikan badan amal, Teungku Fakinah kemudian bergabung bersama Cut Nyak Dien dalam perlawanan bersenjata. Ia bahkan memimpin empat batalion, termasuk satu batalion perempuan.

Setelah diminta berhenti oleh Panglima Polem, ia mendirikan Dayah (lembaga pendidikan Islam) dan berjuang melalui jalur pendidikan hingga wafat pada 1938.

4. Pocut Meuligoe

Perempuan asal Gampong Baro ini memimpin pemuda-pemuda Samalanga dalam mempertahankan Benteng Batee Iliek dari serangan Belanda pada 1880. Meski Samalanga akhirnya jatuh pada 1904, perjuangan Pocut Meuligoe dikenang sebagai simbol keberanian rakyat Aceh.

5. Pocut Meurah Intan

Lahir pada 1833 di Lampadang, Pidie, Pocut Meurah Intan dikenal karena militansinya bersama anak-anaknya melawan Belanda. Bahkan, Mayor Jenderal Belanda TJ Veltman mengakui ketangguhannya.

Ia ditangkap pada 1902 dan diasingkan ke Blora, Jawa Tengah, hingga meninggal pada 19 September 1937.

6. Pocut Baren

Pocut Baren lahir pada 1880 di Aceh Barat. Setelah suaminya gugur, ia memimpin sendiri pasukan gerilya melawan Belanda. Ia bertahan di hutan dan gua demi melanjutkan perlawanan sebelum akhirnya tertangkap karena kakinya tertembak.

7. Pocut Mirah Gambang

Pocut Mirah Gambang—putri Cut Nyak Dien yang gugur di Gunung Halimon bersama suaminya Teungku Chik Mahyeddin di Tiro. Mahyeddin sendiri adalah cucu dari pahlawan nasional Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, dan kakek dari deklarator Gerakan Aceh Merdeka, Hasan Tiro. (*)

KEYWORD :

Malahayati Laksamana perempuan Pejuang perempuan Pahlawan Perempuan Aceh




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :