Jum'at, 13/06/2025 15:47 WIB

Inong Balee dan Malahayati, Pasukan Wanita Aceh yang Ditakuti Eropa

Ada satu kisah heroik yang sering luput dari sorotan: kisah pasukan perempuan tangguh bernama Inong Balee, di bawah komando Laksamana Keumalahayati

Ilustrasi Laksamana Malahayati, pemimpin Inong Balee, pasukan perempuan tangguh dari Aceh (Foto: IG keana_film/Acehkini)

Jakarta, Jurnas.com - Aceh, wilayah paling barat Indonesia, bukan hanya gerbang masuknya Islam pertama di Nusantara, tetapi juga saksi dari berbagai fase sejarah penting: dari kejayaan Kesultanan Aceh, perlawanan kolonial, hingga konflik panjang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berujung pada MoU Helsinki tahun 2005.

Namun di balik semua itu, ada satu kisah heroik yang sering luput dari sorotan: kisah pasukan perempuan tangguh bernama Inong Balee, di bawah komando Laksamana Keumalahayati. Berikut adalah ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.

Inong Balee” berasal dari bahasa Aceh, di mana Inong berarti “wanita” dan Balee berarti “janda”. Sesuai namanya, pasukan ini terdiri dari para janda prajurit Aceh yang gugur di medan perang melawan penjajah Portugis dan Belanda. Mereka bukan hanya korban perang—mereka bangkit sebagai pejuang, simbol keberanian, dan lambang perlawanan perempuan Aceh.

Pasukan ini dibentuk pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil (1589–1604 M) atas gagasan Laksamana Malahayati, perempuan bangsawan Aceh, anak dari panglima angkatan laut dan cicit Sultan Salahuddin Syah.

Setelah suaminya gugur dalam pertempuran di Teluk Haru pada 1586, Malahayati tidak terpuruk. Sebaliknya, ia justru mengambil alih posisi suaminya sebagai panglima, dan menjadi perempuan pertama di dunia yang menyandang pangkat laksamana laut.

Keumalahayati, Laksamana Perempuan Pertama di Dunia

Keumalahayati merupakan satu dari sedikit perempuan dalam sejarah dunia yang berhasil mendobrak dominasi laki-laki di dunia militer. Ia bukan hanya cerdas, tetapi juga sangat terlatih. Ia menempuh pendidikan militer di Mahad Baitul Maqdis, akademi militer Kesultanan Aceh, dengan pelatihan dari para instruktur perang asal Turki Ottoman.

Dengan pengalaman dan pengetahuan militernya, Malahayati, sapaan Keumalahayati, mengorganisasi pasukan Inong Balee menjadi unit tempur yang tangguh dan terorganisir. Di bawah komandonya, Inong Balee berubah dari sekumpulan janda menjadi kekuatan militer yang ditakuti di wilayah Selat Malaka.

Inong Balee, Kekuatan Armada Perempuan Aceh yang Ditakuti Eropa

Pasukan Inong Balee bukan sekadar simbol. Mereka memiliki 100 kapal perang besar, masing-masing mampu mengangkut hingga 400 pasukan, dilengkapi senjata dan strategi tempur laut. Mereka aktif dalam pertempuran melawan Portugis dan Belanda, terutama di kawasan strategis Selat Malaka, pantai timur Sumatra, hingga wilayah Malaka.

Salah satu momen paling ikonik ialah Pertempuran Teluk Haru pada 1599, ketika dua kapal dagang Belanda, de Leeuw dan de Leeuwin, datang tanpa izin ke Aceh. Dalam duel yang tercatat dalam sejarah, Malahayati berhasil membunuh Cornelis de Houtman, pemimpin armada Belanda, dan menawan saudaranya, Frederik de Houtman.

Tindakan tegas ini mengejutkan Eropa, mempertegas posisi Aceh sebagai kekuatan maritim yang tidak bisa diremehkan—dipimpin oleh seorang perempuan.

Benteng Inong Balee, Markas Perempuan Pejuang

Sebagai pusat komando dan pelatihan militer, Malahayati membangun Benteng Inong Balee di perbukitan Teluk Krueng Raya, Aceh Besar. Dari lokasi strategis ini, pasukan perempuan mengawasi lalu lintas pelayaran, menjaga pelabuhan, dan melatih anggota baru.

Kini, meski hanya tersisa reruntuhan, benteng tersebut masih berdiri sebagai simbol ketangguhan perempuan Aceh. Situs ini menjadi warisan sejarah yang penting dan saksi bisu dari peran vital perempuan dalam sejarah pertahanan Aceh.

Tradisi Militer Perempuan di Aceh

Tradisi prajurit perempuan bukan hal baru di Aceh. Di era Kesultanan, perempuan memegang peran penting dalam urusan militer dan sosial. Selain Malahayati, sejarah mencatat nama-nama seperti Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, yang juga memimpin pasukan melawan kolonialisme.

Inong Balee melengkapi warisan tersebut, sebagai bentuk nyata dari kesetaraan dan penghargaan terhadap perempuan dalam struktur militer Aceh, bahkan dalam masyarakat yang berbasis syariat Islam.

Laksamana Malahayati wafat pada 1615 dan dimakamkan di Desa Lamreh, Aceh Besar. Ia baru ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 2017 oleh Presiden Joko Widodo. Meski begitu, kisahnya tetap hidup dalam jiwa Aceh dan perjuangan perempuan Indonesia hari ini.

Inong Balee bukan hanya pasukan janda, tapi lambang bahwa kehilangan bisa menjadi kekuatan, dan perempuan bisa menjadi garda terdepan dalam mempertahankan tanah air. (*)

KEYWORD :

Laksamana Malahayati Inong Balee sejarah Aceh pasukan perempuan Indonesia




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :