Jum'at, 13/06/2025 16:24 WIB

Malahayati, Perempuan Aceh yang Menjadi Laksamana Pertama di Dunia

Sejarah Aceh juga ditulis oleh tangan perempuan, salah satunya sosok tangguh bernama Keumalahayati atau Malahayati.

Ilustrasi Laksamana Malahayati. Foto: IG keana_film/Acehkini)

Jakarta, Jurnas.com - Dalam lintasan sejarah panjang perjuangan Nusantara, nama-nama pahlawan besar seringkali didominasi oleh tokoh pria atau lelaki. Namun, dari tanah Serambi Mekkah, Aceh, lahir seorang perempuan yang menorehkan prestasi luar biasa di medan tempur laut.

Dialah Keumalahayati atau dikenal Malahayati. Ia merupakan sosok perempuan pertama di dunia yang menyandang gelar laksamana—sebuah jabatan yang saat itu nyaris mustahil diberikan kepada seorang perempuan.

Lahir pada 1 Januari 1550, Malahayati berasal dari garis keturunan bangsawan militer. Ayahnya, Laksamana Mahmud Syah, merupakan Panglima Laut Kesultanan Aceh, sementara kakek buyutnya adalah Sultan Salahuddin Syah, penguasa kedua Kesultanan Aceh. Sejak muda, Malahayati ditempa dalam pendidikan militer laut di Mahad Baitul Maqdis, akademi maritim elite di istana Aceh.

Malahayati Panglima Perempuan Pertama Dunia

Prestasi Malahayati melejit di usia 35 tahun, ketika Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil mempercayainya sebagai Kepala Barisan Pengawal Istana. Tak lama kemudian, ia menggantikan posisi suaminya, Laksamana Tuanku Mahmuddin, yang gugur dalam pertempuran melawan Portugis di Teluk Haru pada 1586.

Kepergian sang suami membakar semangat Malahayati. Ia mengajukan permintaan kepada Sultan: membentuk pasukan elit perempuan. Maka lahirlah Inong Balee, pasukan tempur laut yang seluruh anggotanya adalah para janda prajurit yang gugur di medan perang. Dalam waktu singkat, Malahayati melatih lebih dari 2.000 prajurit perempuan menjadi kekuatan laut yang tangguh.

Puncak Kejayaan Malahayati dan Inong Balee

Markas besar pasukan Inong Balee dibangun di Teluk Lamreh, Aceh Besar. Di sana, Malahayati membangun benteng pertahanan megah setinggi 100 meter, lengkap dengan armada 100 kapal perang besar. Benteng itu bukan sekadar pertahanan fisik, tetapi simbol perlawanan perempuan atas penjajahan.

Pasukan Inong Balee tidak hanya mempertahankan wilayah pesisir Aceh, tapi juga aktif menyerang armada Portugis dan Belanda di kawasan Selat Malaka hingga pesisir Malaya. Kemampuan tempur mereka begitu ditakuti hingga lawan sering kali enggan berlayar dekat wilayah Aceh.

Puncak kejayaan Malahayati terjadi pada 11 September 1599, saat dua kapal perang Belanda yang dipimpin Cornelis dan Frederik de Houtman mencoba memasuki pelabuhan Aceh. Setelah perundingan ditolak, meletuslah pertempuran laut yang sengit.

Dalam duel satu lawan satu, Malahayati berhasil menumbangkan Cornelis de Houtman dengan senjata khas Aceh, rencong, di atas kapal musuh. Frederik ditangkap dan dijadikan tawanan. Peristiwa ini menjadi momen penting dalam sejarah maritim dunia—membuktikan bahwa seorang perempuan bukan hanya mampu memimpin armada, tetapi juga memenangkan perang besar.

Tak hanya panglima, Malahayati juga dikenal sebagai diplomat ulung. Ia menjadi negosiator utama dalam perundingan dengan Belanda terkait pembebasan Frederik de Houtman, dengan syarat: Belanda harus membayar ganti rugi kepada Kesultanan Aceh.

Pada 1602, Malahayati menerima utusan Inggris, James Lancaster, yang membawa misi dagang dari Ratu Elizabeth I. Perundingan berjalan damai. Aceh dan Inggris sepakat menjalin hubungan dagang tanpa kekerasan—sebuah pencapaian diplomatik besar pada masa itu.

Warisan Abadi dan Pengakuan Nasional

Malahayati wafat pada 1615, dan dimakamkan di dekat benteng pasukan Inong Balee di Desa Lamreh, Aceh Besar. Namun semangatnya tidak padam. Namanya kini abadi sebagai Pahlawan Nasional Indonesia (dianugerahkan pada 9 November 2017), Nama kapal perang TNI AL,  Nama pelabuhan ekspor di Aceh (Pelabuhan Malahayati), dan Nama jalan dan universitas di berbagai kota di Indonesia.

Pada 2023, TNI AL menggelar pertunjukan teaterikal kisah Malahayati, menggandeng seniman ternama seperti Jay Subiakto dan Marcella Zalianty. Ini bukan hanya penghormatan, tetapi pengingat: bahwa perempuan pun mampu menjadi benteng, pemimpin, dan pelindung tanah air. (*)

Sumber: https://indonesia.go.id, https://sejarah.fkip.uns.ac.id, RRI, dan berbagai sumber lainnya

KEYWORD :

Malahayati Laksamana perempuan Sejarah Aceh Inong Balee Pahlawan nasional perempuan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :