Jum'at, 13/06/2025 15:16 WIB

Kenapa Aceh Dijuluki Serambi Mekkah? Ini Asal-Usul, Makna, hingga Warisannya

Aceh, provinsi di ujung barat Indonesia, dikenal luas dengan julukan “Serambi Mekkah”.

Ilustrasi - Kenapa Aceh Dijuluki Serambi Mekkah? Ini Asal-Usul, Makna, hingga Warisannya (Foto: RRI)

Jakarta, Jurnas.com - Aceh, provinsi di ujung barat Indonesia, sejak dulu kala dikenal luas dengan julukan “Serambi Mekkah”. Julukan ini bukan sekadar simbol religius, tapi mencerminkan sejarah panjang Aceh sebagai pusat peradaban hingga gerbang utama Islam di Asia Tenggara, termasuk dalam tradisi berhaji orang Hindia Belanda atau kini dikenal dengan Indonesia.

Dikutip dari berbagai sumber, sebutan Serambi Mekkah untuk Aceh muncul jauh sebelum era kemerdekaan, bahkan ditulis dalam kitab Bustanul Salatin karya ulama besar Nuruddin Ar-Raniry. Dalam kitab tersebut, Aceh disebut sebagai “Serambi Mekkah Allah yang Mahamulia”, karena perannya yang menyerupai Mekkah sebagai pusat ibadah dan ilmu pengetahuan.

Dikutip dari Jurnal Ilmiah Islam Futura berjudul "Aceh Serambi Mekkah", pada masa kejayaannya, Aceh menjadi tempat singgah utama jamaah haji dari Nusantara sebelum melanjutkan perjalanan ke Tanah Suci. Di sinilah mereka belajar rukun haji dan ilmu agama hingga dinyatakan layak berhaji oleh para ulama, yang kemudian memberikan ijazah sebagai syarat spiritual dan intelektual.

Karena itulah, Aceh disebut sebagai pintu menuju Mekkah, bukan secara geografis, melainkan secara simbolis dan keilmuan. Julukan ini menegaskan bahwa spiritualitas dan pengetahuan merupakan syarat utama untuk menyentuh kesucian ibadah haji.

Mengutip laman Pemerintah Aceh, posisi ini tidak muncul begitu saja, melainkan dibangun sejak awal kedatangan Islam di wilayah ini. Sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali melalui Aceh. Masuknya Islam ke Aceh melalui Pereulak atau Perlak sekitar tahun 800 M oleh rombongan da’i dari Gujarat, Persia, dan Arab yang datang untuk berdakwah, serta Pasai.

Mereka mengajarkan Islam dengan pendekatan sosial—pertanian, perdagangan, rumah tangga, hingga pemerintahan—sehingga penduduk Perlak beralih ke Islam tanpa paksaan. Inilah fondasi awal peradaban Islam yang berkembang pesat di Aceh dan menjadi pusat dakwah se-Nusantara.

Berkembangnya Islam di Aceh kemudian melahirkan kerajaan-kerajaan besar seperti Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh Darussalam. Dari sinilah gelombang penyebaran Islam ke Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Malaysia dan Brunei bermula.

Karena peran strategis itu, Aceh menjadi pusat pendidikan Islam yang sangat aktif dan produktif. Banyak kitab-kitab dari Timur Tengah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, dan para ulama Aceh menjadi rujukan bagi pelajar dari berbagai wilayah Asia Tenggara.

Bahkan, banyak ulama besar dari Arab seperti Muhammad Azhari dan Muhammad al-Yamani pernah mengajar di Aceh. Sebaliknya, ulama Aceh juga mendidik generasi ulama dari luar negeri seperti Syaikh Abdul Malik dari Terengganu dan Muhammad Said dari Kedah.

Tradisi keilmuan ini berjalan bersamaan dengan kekuatan syariat yang dijalankan masyarakat Aceh secara konsisten. Hingga kini, Aceh menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang secara formal menerapkan syariat Islam dalam sistem sosial dan hukum.

Selain itu, budaya masyarakat Aceh sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Arab, mulai dari pakaian, bahasa, hingga tata cara hidup sehari-hari. Hal ini membuat kesan keislaman di Aceh begitu kental dan berakar kuat dalam kehidupan masyarakat.

Namun kejayaan ini mulai memudar sejak jalur laut dikuasai oleh Portugis dan kemudian Belanda. Kolonialisme membatasi pergerakan para jamaah dan ulama, bahkan membuat hubungan Aceh dengan pusat-pusat Islam dunia terputus secara perlahan.

Akibatnya, fungsi Aceh sebagai pusat pembelajaran haji dan ilmu agama melemah drastis. Embarkasi haji pun dipindahkan ke Medan, menandai hilangnya posisi Aceh sebagai gerbang utama ke Tanah Suci.

Meski begitu, jejak sejarah masih tersisa melalui wakaf Baitul Asyi di Mekkah yang diperuntukkan bagi jamaah Aceh. Wakaf ini didirikan oleh seorang putra Aceh yang sukses di Arab Saudi dan mewakafkan beberapa properti untuk para haji asal Aceh.

Saat ini, wakaf tersebut menyediakan tempat tinggal gratis dan santunan keuangan bagi jamaah Aceh selama di Mekkah. Hotel-hotel seperti Elaf Almashaer dan Ramada, yang letaknya hanya ratusan meter dari Masjidil Haram, menjadi simbol nyata warisan keislaman Aceh yang masih hidup.

Dengan demikian, Serambi Mekkah bukan sekadar nama, tapi sebuah identitas yang terbentuk dari sejarah dakwah, ilmu, dan ibadah. Dapat dikatakan, Aceh merupakan pelataran menuju Mekkah—sebuah titik awal spiritual yang menyinari dunia Islam di Asia Tenggara. (*)

KEYWORD :

Aceh Serambi Mekkah Sejarah aceh Sejarah serambi mekkah




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :