
Ibadah haji di Mekah, Arab Saudi (Foto: Dok. Ditjen PHU)
Jakarta, Jurnas.com - Tradisi berhaji bagi umat Islam Indonesia bukanlah hal baru. Bahkan, jauh sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Nusantara sudah berlayar ribuan mil menuju Tanah Suci Makkah—menempuh perjalanan berminggu-minggu dengan kapal laut, kapal layar atau uap, mengarungi lautan demi menunaikan rukun Islam kelima, ibadah haji.
Dikutip dari berbagai sumber, sejarah mencatat, orang-orang Indonesia telah melakukan ibadah haji sejak abad ke-17. Akses menuju Makkah semakin terbuka setelah Terusan Suez dibuka pada 1869. Jalur pelayaran menjadi lebih cepat dan murah, mendorong ribuan jemaah dari Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda atau Indonesia, menunaikan ibadah ke Tanah Suci.
Namun di era kolonial, berhaji tidak mudah. Pemerintah Belanda memberlakukan “ordonansi haji” sejak 1859 yang mensyaratkan calon jemaah memiliki cukup uang dan izin dari penguasa lokal. Selain alasan administratif, Belanda khawatir jemaah haji membawa pulang semangat anti-kolonial dari pergaulan dengan umat Islam dunia.
Toh, animo masyarakat Nusantara tak surut. Tahun 1926/1927 misalnya, lebih dari 52.000 jemaah berangkat dari Hindia Belanda—angka yang mengejutkan bahkan bagi pemerintah kolonial. Tak heran, gelar “Haji” saat itu bukan sekadar tanda telah beribadah, tapi juga simbol kehormatan dan otoritas moral.
Organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mengambil peran penting dalam membina dan melindungi jemaah. Muhammadiyah, misalnya, membentuk Bagian Penolong Haji sejak 1921. Bahkan, sempat muncul ide memberangkatkan jemaah dengan kapal sendiri pada tahun 1930.
Perjalanan haji sempat terhenti selama masa pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan. Terlebih ketika masa memperthanakan kkemerdekaan, ketika Belanda ingin kembali mengambil alih Indonesia.
Dikutip dari laman Kementerian Agama atau Kemenag RI, ulama besar Hadratussyaikh K.H. Hasjim Asy’ari (Ketua Majelis Syura Masyumi dan pendiri Nahdlatul Ulama) mengeluarkan fatwa tidak wajib haji bagi orang Indonesia saat itu. Kemenag menyiarkan fatwa K.H. Hasyim Asy’ari kepada seluruh penduduk dan umat Islam Indonesia. Penghentian perjalanan haji sekaligus sebagai boikot terhadap Belanda yang saat itu menguasai armada pelayaran yang digunakan untuk mengangkut calon jemaah haji.
Namun setelah Indonesia merdeka, pemerintah kembali memberangkatkan jemaah dengan kapal milik negara. Kapal Tarakan menjadi pelopor, dan Menteri Agama pertama Indonesia, K.H.A. Wahid Hasjim, menaruh tanggung jawab besar kepada kapten kapal sebagai perwakilan resmi negara.
Pemerintah lantas membentuk Yayasan Penyelenggaraan Haji Indonesia (PHI) pada 1950-an, bekerja sama dengan Kementerian Agama. Pada masa Presiden Soekarno, bahkan sempat didirikan perusahaan pelayaran haji milik umat, PT Pelayaran Arafat. Namun proyek ini kandas pada 1976 karena masalah manajemen.
Sejak 1979, perjalanan haji beralih ke transportasi udara. Pemerintah memperkuat sistem pelayanan melalui Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Haji pun diakui sebagai tugas nasional sejak 1969.
Masuk era 1990-an, sistem penyelenggaraan haji terus dibenahi. Menteri Agama Tarmizi Taher memperkenalkan sistem komputerisasi haji (Siskohat) dan Dana Abadi Umat (DAU) yang dikelola secara transparan. Reformasi birokrasi berlanjut dengan lahirnya UU No. 17 Tahun 1999, lalu disempurnakan menjadi UU No. 13 Tahun 2008.
Kini, Indonesia menjadi negara pengirim jemaah haji terbesar di dunia. Pada 2023, Indonesia mengusung konsep Haji Berkeadilan dan Berkelanjutan sebagai solusi atas keterbatasan kuota dan lamanya masa tunggu.
Lebih dari sekadar ibadah tahunan, haji punya makna historis dan sosial mendalam bagi umat Islam Indonesia. Dari masa penjajahan hingga era digital, dari era pemberangkatan haji pakai kapal laut hingga pesawat terbang, semangat menunaikan rukun Islam kelima masih menggelora.
Kini, di tengah segala kemudahan teknologi dan fasilitas, esensi haji tetap sama: perjalanan ruhani menuju Allah. Dan di setiap langkah thawaf serta sa’i para jemaah Indonesia, selalu tersimpan jejak panjang sejarah bangsa yang tak pernah lelah mencari keberkahan hingga jati dirinya. (*)
Sejarah Haji Indonesia Haji Nusantara Perjalanan Haji Kapal Laut