
Anggota DPD RI dari Daerah Pemilihan Papua Barat Daya, Agustinus Kambuaya
Jakarta, Jurnas.com - Anggota DPD RI dari Daerah Pemilihan Papua Barat Daya Agustinus Kambuaya mengemukakan penyelesaian polemik isu pencemaran lingkungan oleh aktivitas tambang nikel di Raja Ampat membutuhkan kolaborasi lintas kementerian terkait.
Menurutnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perikanan dan Kelautan, hingga Kementerian Investasi seharusnya membangun satu kolaborasi dan kerja sama terkait isu polemik tambang nikel di Raja Ampat.
"Karena di satu sisi, Kementerian ESDM mengklaim bahwa tambang nikel di Raja Ampat itu baik-baik saja dan tidak ada masalah di sana," jelas Agustinus di Sorong, Senin (9/6).
Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan pernyataan yang berbeda, yakni tiga perusahaan yang secara kriteria dan kategori telah merusak lingkungan melalui aktivitas tambang nikel.
"Ini jelas bahwa antara lembaga pemerintah pusat sudah tidak solid. Saya ingatkan mestinya persoalan Raja Ampat ini dirapatkan di kabinet sehingga ketika turun ke Papua Barat Daya benar-benar membawa pesan yang utuh, benar, dan tidak membuat masyarakat merasa bingung," ujarnya.
Agustinus mengatakan bahwa imbas dari ketidakjelasan itu, Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu dan Bupati Raja Ampat Orideko Burdam terjebak dan terus didesak oleh masyarakat. Seolah-olah pemerintah daerah tidak konsisten dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di Kabupaten Raja Ampat.
"Sebenarnya pesan pemerintah mana yang mau diikuti, apakah Kementerian ESDM atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," katanya.
Di sisi lain, menurut dia, hal ini berkaitan dengan keterbatasan wewenang yang dimiliki pemerintah daerah. Ada 80 undang-undang yang disatukan dalam omnibus sehingga seluruh kewenangan ditarik ke pemerintah pusat.
"Wewenang untuk menertibkan, mengevaluasi, membatalkan, dan mencabut izin itu ada di kementerian. Begitu ada masalah, pemerintah daerah yang kena imbasnya dan ini sedang terjadi di Raja Ampat," ucapnya.
Kewenangan pemerintah daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, mengesampingkan kewenangan pemerintah daerah dalam Undang-Undang Otonomi Khusus.
"Ini artinya undang-undang sektoral membuat kewenangan pemerintah daerah sudah tidak berdaya. Semua izin yang keluar itu datangnya dari pusat. Sekalipun daerah memberikan pertimbangan, sifatnya sebatas menyetujui, bukan membatalkan," ujarnya.
Kemudian, adanya kekacauan tumpang tindih undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Kawasan Pesisir yang menetapkan Raja Ampat sebagai kawasan konservasi.
Sementara Undang-Undang Pertambangan Nomor 2 Tahun 2005 menyatakan bahwa kawasan yang sudah keluar izin konsesi tidak bisa dicabut ketika rencana tata ruang dan wilayah di realisasikan.
"Ini semua adalah muara kekacauan sistem yang ada sehingga yang terkena imbasnya adalah kepala daerah, DPRK, DPRP, dan MRP," ucapnya.
Dia mengatakan persoalan tambang nikel di Raja Ampat bukan menjadi ajang untuk saling mempersalahkan, tetapi sudah menjadi kesalahan bersama yang mestinya segera dicari solusi tepat untuk mengatasi persoalan yang ada.
KEYWORD :Anggota DPD RI Polemik Raja Ampat Kolaborasi Lintas Kementerian