Senin, 09/06/2025 16:42 WIB

Tradisi Sasi Laut Raja Ampat, Ketika Adat Menjadi Penjaga Alam

Bukan sekadar ritual adat, Sasi Laut merupakan sistem konservasi ekologis yang terbukti efektif dan telah berlangsung turun-temurun

Ilustrasi - Pulau Wayag, salah satu wisata di Raja Ampat, Papua (Foto: pesonangin)

Jakarta, Jurnas.com - Di tengah pesona laut biru dan gugusan pulau-pulau eksotis Raja Ampat, tersembunyi sebuah kearifan lokal yang menjadi benteng pelindung bagi ekosistem laut yang rapuh: Tradisi Sasi Laut. Bukan sekadar ritual adat, Sasi Laut merupakan sistem konservasi ekologis yang terbukti efektif dan telah berlangsung turun-temurun, dengan dukungan penuh dari masyarakat adat, tokoh agama, dan pemerintah daerah.

Apa Itu Sasi Laut?

Dikutip dari laman Indonesian Ocean Pride, Sasi Laut berasal dari kata “sasi” yang dalam bahasa lokal berarti “sumpah”. Tradisi ini adalah bentuk larangan sementara untuk tidak mengambil hasil laut di wilayah tertentu demi menjaga kelestarian sumber daya alam. Selama periode sasi—yang bisa berlangsung dari beberapa bulan hingga dua tahun—masyarakat dilarang memanen hasil laut seperti lobster, teripang, kerang, atau ikan bernilai ekonomi tinggi.

Dr. George Mentasan, Dosen Antropologi asal Raja Ampat menjelaskan, Sasi tidak hanya dilaksanakan sebagai bentuk pengelolaan sumber daya, tetapi juga dianggap suci dan spiritual. Dikutip dari laman RRI, masyarakat Raja Ampat percaya bahwa keberhasilan panen laut sangat bergantung pada penghormatan terhadap tradisi ini.

Sasi Laut: Antara Budaya, Ekologi, dan Spiritualitas

Dikutip dari berbagai sumber, tradisi Sasi dibagi menjadi dua: Sasi Darat dan Sasi Laut. Di Raja Ampat, yang 85% wilayahnya adalah perairan, Sasi Laut memiliki peran vital dalam menjaga ekosistem sekaligus sumber penghidupan masyarakat. Tradisi ini tidak hanya didasarkan pada siklus panen, tetapi juga mengikuti kalender adat yang terikat waktu dan musim—dari jam, hari, hingga bulan.

Dalam perspektif antropologis, masyarakat Papua mengenal sistem waktu adat untuk menanam, melaut, dan bahkan berinteraksi sosial. Sasi menjadi bagian dari sistem itu: aturan adat yang disepakati dan dihormati bersama, dan karenanya memiliki kekuatan sosial yang tinggi. Bahkan, masyarakat kampung tak berani melanggarnya karena takut melanggar sumpah dan norma adat.

Pelaksanaan Sasi dan Dampaknya terhadap Lingkungan

Sasi dilakukan melalui upacara adat oleh tokoh adat atau pemuka agama. Area yang ditutup diberi penanda seperti patok kayu, simbol bahwa wilayah tersebut "disucikan" dan tidak boleh diganggu. Pembukaan dan penutupan sasi disebut buka sasi dan tutup sasi, dan melibatkan komunitas secara kolektif.

Saat buka sasi, panen hasil laut dilakukan secara selektif. Contohnya: hanya lobster berukuran tertentu yang boleh ditangkap, dan lobster bertelur wajib dilepas kembali. Ini menjaga siklus regenerasi alam tetap berlanjut.

Selain konservasi, hasil panen sasi menjadi sumber ekonomi masyarakat. Dana dari penjualan hasil laut digunakan untuk kegiatan komunal: membangun gereja, fasilitas publik, hingga mendanai upacara adat. Ini menjadikan sasi bukan hanya alat pelestarian, tetapi juga kesejahteraan sosial.

Mengatasi Ancaman dengan Adat

Tradisi Sasi terbukti mampu mengurangi praktik perusakan laut, seperti penggunaan bom ikan, racun, atau alat tangkap ilegal. Wilayah sasi umumnya menjadi habitat spesies bernilai tinggi, seperti teripang dan lobster, dan karena dijaga ketat oleh masyarakat, ekosistemnya tetap lestari.

Lebih dari itu, Sasi memperkuat rasa kepemilikan masyarakat terhadap laut. Alih-alih menyerahkan konservasi kepada pihak luar, masyarakat menjadi penjaga utama wilayahnya sendiri.

Sasi kini tidak hanya dijalankan oleh tokoh adat, tetapi juga oleh tokoh agama—yang dikenal sebagai sasi gereja. Pemerintah daerah Raja Ampat pun secara aktif mendorong pelestarian ini sebagai bagian dari program konservasi terumbu karang dan pengelolaan kawasan konservasi laut berkelanjutan.

Tradisi Sasi Laut di Raja Ampat adalah contoh nyata bagaimana kearifan lokal mampu menjawab persoalan global—dari krisis iklim hingga eksploitasi sumber daya alam. Ia tidak hanya merawat laut, tetapi juga merawat manusia dan budayanya.

Dalam dunia yang semakin kehilangan hubungan spiritual dengan alam, Sasi mengingatkan kita untuk tidak serakah, untuk bersyukur, dan untuk menjaga keseimbangan antara mengambil dan memberi. Seperti laut yang memberi kehidupan, sudah sepatutnya kita menjaganya seperti kita menjaga orang tua kita. (*)

KEYWORD :

Tradisi Sasi Laut Raja Ampat Papua Konservasi Alam




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :