
Ibadah haji di Mekah, Arab Saudi (Foto: Dok. Ditjen PHU)
Jakarta, Jurnas.com - Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang menjadi dambaan umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kendati demikian, menunaikan ibadah haji disebutkan, diwajibkan, diperuntukkan bagi umat Islam yang memiliki kesanggupan atau kemampuan.
Kemampuan ini dikenal dalam istilah syariat sebagai istitha`ah (الاستطاعة). Adapun jika ditinjau dari segi bahasa, kata istitha`ah berasal dari bahasa Arab, yang berarti kesanggupan, kemampuan, atau kuasa. Istilah ini menunjukkan bahwa haji bukan sekadar niat, tapi ibadah yang sangat bergantung pada kesiapan lahir dan batin.
Dalam istilah fikih, istitha`ah mencakup kesipan atau kemampuan secara fisik, finansial, kesehatan jasmani dan rohani, serta adanya waktu dan keamanan untuk melaksanakan perjalanan ke Baitulullah, Makkah dan menjalani seluruh manasik.
Lantas, bagaimana kriteria "kesanggupan" atau "kemampuan" berhaji itu? Bolehkan memaksakan diri untuk berhaji? Berikut adalah ulasannya yang dirangkum dari berbagai sumber.
Para fakih sepakat bahwa ibadah haji baru menjadi wajib ketika seseorang sudah memiliki istitha`ah. Maka kewajiban haji bukan beban mutlak atas semua Muslim, tetapi hanya berlaku bagi mereka yang benar-benar sanggup menjalaninya.
Pandangan tersebut didasarkan pada keterangan yang tertuang dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 97, yang menyatakan:
Artinya: "Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." - QS. Ali Imran ayat 97.
Lebih lanjut, Tafsir Ringkas Kementerian Agama RI menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kemampuan adalah bekal yang cukup untuk dirinya dan keluarga yang ditinggalkan, kesehatan fisik, sarana pengangkutan, dan perjalanan yang aman. Jika seseorang mengingkari kewajiban haji, maka ia dianggap kafir karena tidak mempercayai ajaran Islam, sementara Allah Mahakaya dan tidak memerlukan ibadah siapa pun.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa istitha`ah bukan sekadar syarat teknis, melainkan penentu utama keabsahan kewajiban ibadah. Maka Islam memberikan keringanan sesuai dengan kemampuan tiap individu.
Nabi Muhammad SAW pun menjelaskan bahwa haji tidak dimaksudkan sebagai ibadah yang dilakukan setiap tahun. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah bersabda:
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji atas kalian, maka berhajilah.” Seorang laki-laki bertanya, “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Jika aku katakan ya, niscaya akan menjadi wajib dan kalian tidak akan mampu.”
Ini menegaskan bahwa kewajiban haji adalah ibadah yang fleksibel sesuai kondisi. Maka tidak ada dosa atas orang yang belum mampu melakukannya.
Dalam praktiknya, istitha’ah dilihat dari empat sisi utama: keuangan, kesehatan, keamanan, dan waktu. Keempat dimensi ini harus terpenuhi agar ibadah haji benar-benar bisa dijalankan dengan baik.
Di Indonesia, kemampuan fisik dan kesehatan menjadi syarat formal yang diatur dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 142 Tahun 2025. Pemeriksaan kesehatan kini menjadi bagian dari proses pelunasan biaya haji dan penentuan kelayakan berangkat.
Seseorang yang secara jasmani tidak kuat menjalani aktivitas fisik selama manasik tidak diwajibkan berhaji. Berbeda dengan salat atau zakat yang masih wajib bagi orang sakit, haji justru gugur jika tubuh benar-benar tidak sanggup.
Begitu pula dari sisi finansial, seseorang hanya diwajibkan berhaji jika mampu secara ekonomi tanpa menelantarkan tanggung jawab keluarga. Biaya perjalanan, akomodasi, dan nafkah keluarga harus terpenuhi dengan wajar.
Keamanan perjalanan juga menjadi faktor penting. Islam tidak memaksakan umatnya menempuh risiko besar untuk ibadah yang sejatinya hanya diwajibkan bagi yang "sanggup" atau "mampu".
Dengan pertimbangan itu, calon jemaah haji dikelompokkan menjadi beberapa kategori sesuai tingkat istitha’ah. Ada yang sepenuhnya siap, ada yang butuh pendampingan, ada yang menunggu perbaikan kondisi, dan ada yang tidak memenuhi syarat secara permanen.
Mereka yang termasuk dalam kategori terakhir, seperti penderita kanker stadium akhir atau gangguan kejiwaan berat, tidak lagi diwajibkan berhaji. Dalam hal ini, syariat tidak memberatkan dan justru memberikan kemudahan.
Namun jika seseorang tetap melaksanakan haji meski belum istitha`ah, ibadahnya tetap sah secara fikih. Hal ini ditegaskan dalam kitab Hasyiyatus Syarqawi:
“Orang yang tidak istithaah tidak wajib berhaji, namun jika tetap melaksanakannya maka sah hajinya.”
Bagi mereka yang secara permanen tidak mampu, tersedia solusi berupa badal haji. Ibadah ini dijalankan oleh orang lain atas nama pihak yang tidak bisa berhaji sendiri, dengan syarat pelaksana sudah menyelesaikan hajinya sendiri.
Prof. Huzaemah T Yanggo dari MUI menjelaskan bahwa badal haji adalah bentuk kasih sayang syariat Islam terhadap umat yang terbatas secara fisik. Ini membuka jalan bagi siapa pun untuk tetap mendapatkan keutamaan haji meski secara syar’i tidak memungkinkan berangkat langsung.
Sebagian orang mungkin memandang pengetatan syarat istitha’ah, khususnya kesehatan, sebagai bentuk penghalang. Namun para ulama menegaskan bahwa itu adalah bagian dari perlindungan jiwa dan pelaksanaan ibadah yang berkualitas.
Menurut Abdul Rauf Muhammad Amin, Dekan Fakultas Syariah UIN Alauddin Makassar, kebijakan ini sejalan dengan prinsip syariat dan tidak bertentangan dengan nilai keadilan. Justru inilah bentuk tanggung jawab agama dan negara terhadap umat.
Meski belum bisa berhaji, bukan berarti pintu ibadah tertutup. Banyak amalan lain yang bisa dilakukan dengan niat ikhlas dan hasil pahala yang tak kalah besar.
Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah bersabda:
“Barang siapa berjalan untuk menunaikan salat wajib berjamaah, maka ia seperti orang yang berhaji.”
Selain itu, amalan seperti puasa sunnah, sedekah, membantu sesama, dan berzikir juga sangat dianjurkan. Semua ini menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah sembari menunggu kesempatan berhaji.
Doa dan tawakal pun menjadi kunci penting dalam perjalanan spiritual ini. Banyak kisah nyata menunjukkan bahwa orang-orang biasa, yang awalnya merasa mustahil, akhirnya bisa berangkat ke Tanah Suci karena kekuatan niat dan keyakinan.
Karena itu, ibadah haji bukanlah perlombaan atau simbol status. Ia adalah amanah besar yang hanya diwajibkan bagi yang benar-benar mampu.
Dengan memahami istitha’ah secara menyeluruh—baik dari sisi bahasa, fikih, maupun praktik lapangan—kita bisa melihat bahwa haji adalah ibadah yang penuh rahmat, keadilan, dan kebijaksanaan dalam Islam. (*)
Wallohu`alam
Sumber: haji.kemenag.go.id, https://tafsirweb.com, nu.or.id, ency.uin-malang.ac.id, mirror.mui.or.id, dan berbagai sumber lainnya.
KEYWORD :
Ibadah Haji Kemampuan berhaji Istitha`ah Kriteria orang mampu berhaji