
Ibadah haji di Mekah, Arab Saudi (Foto: Dok. Ditjen PHU)
Jakarta, Jurnas.com - Tanazul menjadi salah satu istilah penting dalam penyelenggaraan haji yang mungkin belum dikenal luas oleh masyarakat. Skema ini dirancang untuk memberi kemudahan kepada jemaah, terutama yang lansia atau memiliki kendala kesehatan, agar tetap dapat menjalankan ibadah secara aman dan nyaman.
Dikutip dari laman Badang Pengelola Keuangan Haji (BPKH), dalam pelaksanaannya, tanazul memungkinkan jemaah untuk mengganti atau mendahulukan jadwal keberangkatan maupun kepulangan. Mekanisme ini sangat membantu bagi jemaah yang mengalami kondisi darurat selama di Tanah Suci.
Namun, untuk operasional haji 1446 H/2025 M, program tanazul resmi tidak diberlakukan. Pemerintah Arab Saudi menunda penerapannya setelah mempertimbangkan sejumlah risiko yang dapat membahayakan keselamatan jemaah.
Keputusan ini disampaikan langsung oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar saat berada di Makkah pada Selasa, 3 Juni 2025. Ia menegaskan bahwa penundaan tanazul dilakukan demi kemaslahatan jemaah Indonesia dan untuk menghindari potensi kekacauan saat puncak ibadah.
Dikutip dari laman Kemenag, penumpukan jemaah dari berbagai negara dikhawatirkan terjadi jika ribuan orang meninggalkan Mina secara bersamaan. Kondisi jalan yang sempit dan belum mengalami perluasan membuat lalu lintas jemaah rawan padat dan tidak terkendali.
Kekhawatiran ini semakin kuat karena banyak negara juga menerapkan skema tanazul, tidak hanya Indonesia. Jika 37.000 jemaah Indonesia ditambah ribuan dari negara lain keluar dari Mina secara serentak, maka risiko macet hingga insiden besar menjadi tak terhindarkan.
Maka dari itu, Pemerintah Arab Saudi menetapkan bahwa seluruh jemaah Indonesia tetap harus mabit atau bermalam di Mina sesuai aturan ibadah haji. Tidak ada yang diperkenankan pulang-pergi ke hotel setelah melempar jumrah.
Apa Itu Tanazul?
Mengutip berbagai sumber, Tanazul sebenarnya dirancang untuk meningkatkan kualitas layanan jemaah, bukan untuk menggugurkan kewajiban ibadah. Dalam praktik sebelumnya, jemaah yang melakukan tanazul tetap hadir di Mina dan menjalankan lempar jumrah sebagaimana mestinya.
Bagi jemaah yang memiliki uzur syar’i, tanazul menjadi solusi untuk mengurangi beban fisik dan risiko kesehatan. Pelaksanaannya pun melalui pengajuan resmi kepada petugas haji dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hukum Tanazul dalam Islam
Dalam konteks hukum Islam, tanazul dipandang sebagai kemudahan yang sah. Hal ini berangkat dari prinsip syariat yang menekankan pentingnya mempermudah ibadah, terutama bagi mereka yang dalam kondisi terbatas.
Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Hajj ayat 78:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ …
"Dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama..."
Demikian pula dalam QS Al-Baqarah ayat 185:
…يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ…
"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran..."
Rasulullah SAW juga bersabda dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Aisyah r.a.:
"مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا..."
"Rasulullah tidak pernah memilih antara dua hal kecuali memilih yang paling mudah di antara keduanya, selama itu bukan dosa..."
Dari ketiga sumber ini, jelas bahwa Islam mengutamakan kelapangan dan keselamatan jiwa dalam setiap ibadah. Tanazul menjadi bentuk penerapan nyata dari prinsip tersebut di lapangan.
Implementasi Skema Tanazul (Ketika Masih Berlaku)
Sebelum ditunda, tanazul biasa dilakukan untuk dua hal, yakni mempercepat kepulangan jemaah dan memberikan ruang istirahat lebih layak saat berada di Mina. Jemaah lansia atau sakit seringkali merasa kesulitan tinggal di tenda Mina yang padat dan minim fasilitas.
Oleh karena itu, mereka diberi izin kembali ke hotel setelah melempar jumrah pada 10 Dzulhijjah. Namun kehadiran di Mina tetap dipastikan, agar kewajiban mabit tidak ditinggalkan sepenuhnya.
Menurut buku The Journey to Arafah karya H. Wahyudi, tanazul juga bertujuan untuk mengurangi kepadatan dan risiko kesehatan akibat kondisi fisik tenda di Mina yang seringkali melebihi kapasitas. Dengan mengatur pergerakan jemaah secara bertahap, risiko dehidrasi, kelelahan, hingga insiden fatal bisa diminimalkan.
Sayangnya, infrastruktur saat ini belum siap untuk mendukung tanazul secara besar-besaran dan serentak antarnegara. Karena itulah, penundaan tanazul dianggap sebagai keputusan strategis demi keamanan seluruh jemaah haji.
Ke depan, skema tanazul masih sangat mungkin untuk kembali diterapkan. Namun, dibutuhkan koordinasi lintas negara serta peningkatan fasilitas haji yang lebih baik, khususnya di wilayah Mina.
Dengan penundaan ini, jemaah diminta untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada dan tetap menjaga stamina selama puncak ibadah. Pendekatan terbaik saat ini adalah mengikuti arahan petugas dan tidak memaksakan diri.
Tanazul akan tetap menjadi bagian penting dalam pelayanan haji modern, namun penerapannya harus sejalan dengan kesiapan infrastruktur dan keselamatan jemaah. Karena dalam ibadah, kemudahan pun harus diiringi dengan kebijaksanaan. (*)
KEYWORD :Tanajul haji Ibadah haji Hukum tanazul Haji 2025