
Ilustrasi Hari Tanpa Tembakau Sedunia (Foto: RRI)
Jakarta, Jurnas.com - Setiap tanggal 31 Mei, dunia memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia atau World No Tobacco Day. Inisiatif ini digagas oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak tahun 1987 sebagai respons atas krisis global akibat konsumsi tembakau.
DIkutip dari berbagai sumber, melalui resolusi WHA42.19 pada tahun 1988, WHO menetapkan 31 Mei sebagai hari tetap untuk kampanye global ini. Tujuannya adalah membangun kesadaran kolektif akan bahaya tembakau dan mendorong aksi nyata dari masyarakat hingga pembuat kebijakan.
Seiring berjalannya waktu, peringatan ini tidak hanya menyoroti dampak kesehatan, tapi juga sisi ekonomi dan sosial dari penggunaan tembakau. WHO mencatat lebih dari 8 juta orang meninggal dunia setiap tahun akibat tembakau, termasuk 1,2 juta perokok pasif.
Fakta ini menjadi sinyal kuat bahwa tembakau bukan hanya masalah individu, melainkan krisis kesehatan masyarakat global. Bahkan, tanpa intervensi serius, angka kematian tersebut diperkirakan akan terus meningkat hingga melewati 8 juta jiwa per tahun pada 2030.
Untuk itu, Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menargetkan penurunan sepertiga kematian akibat penyakit tidak menular, termasuk yang disebabkan oleh tembakau. Jika target ini tercapai, 2030 akan menjadi tonggak penting bagi kesehatan global dan stabilitas ekonomi masyarakat.
Bicara soal ekonomi, rata-rata perokok menghabiskan sekitar 10 juta rupiah hingga 60 juta rupiah per tahun hanya untuk rokok. Angka itu tentu bisa dialihkan ke kebutuhan lain yang lebih bermanfaat, mulai dari pendidikan hingga rekreasi sehat.
Namun, tantangan besar tetap ada, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Konsumsi rokok masih tinggi, bahkan mulai menjangkiti anak-anak dan remaja yang seharusnya belum bersentuhan dengan zat adiktif seperti nikotin.
Fenomena ini diperparah oleh strategi pemasaran industri rokok yang menyasar generasi muda melalui citra gaya hidup keren dan bebas. Padahal, kandungan nikotin dalam rokok menyebabkan kecanduan yang kuat dan membuat proses berhenti merokok menjadi sangat sulit.
Lebih dari itu, asap rokok mengandung lebih dari 4.000 senyawa kimia, dengan setidaknya 43 di antaranya bersifat karsinogenik. Artinya, setiap hisapan adalah ancaman serius tidak hanya bagi perokok aktif, tapi juga orang-orang di sekitarnya.
WHO menegaskan bahwa tidak ada batas aman dalam paparan asap rokok. Bahkan sesekali terpapar pun dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, kanker paru, gangguan kehamilan, hingga kematian mendadak pada bayi.
Di sisi lain, berbagai kebijakan telah dikeluarkan untuk menekan prevalensi merokok, seperti larangan iklan rokok, pengenaan cukai, serta kawasan tanpa rokok. Namun, semua regulasi ini tidak akan efektif jika tidak didukung oleh kesadaran masyarakat.
Itulah sebabnya Hari Tanpa Tembakau Sedunia perlu dimaknai lebih dalam, bukan sekadar seremoni tahunan. Momen ini menjadi refleksi sekaligus ajakan untuk bertindak, baik bagi individu, industri tembakau, maupun pemerintah.
Bagi individu, langkah awal bisa dimulai dari kesadaran kecil seperti menghitung jumlah rokok yang dikonsumsi per hari. Dengan begitu, proses berhenti bisa dirancang secara bertahap dan lebih realistis.
Sementara bagi pemerintah, penting untuk terus memperkuat kebijakan kesehatan publik yang berkelanjutan. Edukasi kepada pelajar dan remaja juga menjadi kunci untuk memutus mata rantai perokok baru di masa depan.
Di sisi industri, sudah waktunya perusahaan tembakau mulai mengeksplorasi produk alternatif yang tidak merusak kesehatan. Potensi tembakau sebenarnya tidak terbatas pada rokok, dan bisa dikembangkan dalam bentuk lain yang lebih aman dan bermanfaat.
Dengan memahami bahaya dan dampaknya dari berbagai sisi, peringatan ini menjadi titik balik menuju masa depan yang lebih sehat. Kita semua punya peran untuk menciptakan lingkungan yang bebas asap dan layak huni bagi generasi berikutnya. (*)
KEYWORD :Hari Tanpa Tembakau Sedunia 31 Mei Hari tanpa tembakau 2025