Minggu, 01/06/2025 22:13 WIB

Studi: Ritme Sirkadian Manusia Masih Dikendalikan Matahari di Era Digital

Penelitian ini menunjukkan bahwa ritme sirkadian – jam biologis internal manusia – tetap merespons perubahan musim dan panjang hari, meski kita jarang lagi bangun dan tidur mengikuti terbit dan tenggelamnya matahari.

Ilustrasi pola tidur atau ritme sikardian( Foto : SehatQ )

Jakarta, Jurnas.com - Meskipun hidup kita kini dikelilingi oleh cahaya buatan, gadget, dan jadwal tak menentu, tubuh manusia tetap setia pada irama alam – terutama cahaya matahari. Sebuah studi terbaru dari University of Michigan mengungkap fakta menarik: pola tidur manusia masih dipengaruhi oleh panjang siang dan malam, bahkan di dunia modern yang serba instan ini.

Jam Biologis Kita Masih Taat pada Matahari

Penelitian ini menunjukkan bahwa ritme sirkadian – jam biologis internal manusia – tetap merespons perubahan musim dan panjang hari, meski kita jarang lagi bangun dan tidur mengikuti terbit dan tenggelamnya matahari.

"Manusia memang bergantung pada musim, meskipun kita mungkin tidak mau mengakuinya dalam konteks modern," kata Ruby Kim, peneliti utama dan asisten profesor matematika di U-M. "Panjangnya siang hari, jumlah sinar matahari yang kita dapatkan, benar-benar memengaruhi fisiologi kita."

Mengapa Ini Penting untuk Kesehatan Mental dan Fisik

Temuan ini membuka jalan baru dalam memahami seasonal affective disorder (SAD) – depresi musiman yang umum terjadi saat paparan cahaya matahari menurun. Selain itu, studi ini berpotensi menjelaskan kaitan antara ritme sirkadian dengan gangguan suasana hati, kecemasan, bahkan masalah metabolik dan kardiovaskular.

“Studi ini menunjukkan bahwa pengaturan waktu musiman yang sudah terbentuk secara biologis memengaruhi cara kita menyesuaikan diri dengan perubahan dalam jadwal harian kita.”

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan adanya hubungan antara suasana hati dan seberapa baik tidur kita sesuai dengan jam internal kita. Penelitian baru ini didasarkan pada hal tersebut.

“Penelitian ini menunjukkan banyak harapan untuk temuan di masa mendatang,” kata Kim. “Ini mungkin memiliki implikasi yang lebih mendalam untuk masalah kesehatan mental, seperti suasana hati dan kecemasan, tetapi juga kondisi metabolik dan kardiovaskular.”

Faktor Genetik: Mengapa Ada yang Mudah Menyesuaikan, dan Ada yang Tidak

Menariknya, penelitian ini juga mengungkap bahwa respons terhadap perubahan cahaya bisa dipengaruhi oleh faktor genetik. Sebagian peserta menunjukkan variasi genetik yang membuat mereka lebih rentan terhadap gangguan tidur saat musim berganti. Ini bisa menjelaskan mengapa sebagian orang tetap bugar usai pergantian waktu, sementara yang lain merasa “jet lag” selama berminggu-minggu.

Daniel Forger, yang memimpin studi tidur sebelumnya, adalah profesor matematika UM dan direktur Pusat Matematika Terapan dan Interdisipliner Michigan.

“Bagi sebagian orang, mereka mungkin bisa beradaptasi lebih baik, tetapi bagi orang lain, mungkin jauh lebih buruk,” katanya.

"Banyak orang cenderung menganggap ritme sirkadian mereka sebagai satu jam tunggal," kata Forger. "Yang kami tunjukkan adalah bahwa sebenarnya tidak ada satu jam, tetapi ada dua. Satu jam mencoba melacak fajar dan yang lainnya mencoba melacak senja, dan keduanya saling berkomunikasi."

Studi pada Dokter Muda

Penelitian ini didasarkan pada data ribuan dokter muda peserta Intern Health Study. Mereka mengenakan pelacak kesehatan seperti Fitbit sepanjang tahun pertama masa kerja mereka yang dikenal sangat melelahkan. Meski jadwal mereka kacau dan penuh tekanan, ritme sirkadian mereka tetap menunjukkan pola musiman yang jelas.

Ini menunjukkan bahwa keterikatan kita pada siklus alam begitu dalamnya hingga tidak bisa sepenuhnya dihapus oleh cahaya buatan dan jam kerja modern.

Kapan Sains dan Alam Akan Selaras Kembali?

Para peneliti juga menganalisis DNA para peserta dan menemukan bahwa varian gen tertentu dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan pola tidur dengan musim. Temuan ini menggarisbawahi potensi dampak jangka panjang dari kerja shift dan kurangnya paparan cahaya alami terhadap kesehatan.

“Selama jutaan tahun, otak manusia telah berevolusi untuk mengenali pola senja dan fajar,” kata Forger. “Namun revolusi industri terjadi begitu cepat, sehingga tubuh kita belum sepenuhnya bisa menyesuaikan diri.”

Walaupun kita hidup dalam dunia yang dikendalikan layar dan lampu, ritme tubuh kita tetap menyimpan warisan alamiah yang tak tergantikan: mengikuti matahari. Penelitian ini memperkuat pentingnya menjaga paparan cahaya alami sebagai bagian dari gaya hidup sehat, terutama di era modern.

Studi lengkapnya diterbitkan di jurnal npj Digital Medicine. (*)

Sumber: earth.com

KEYWORD :

Ritme Sikardian Pola tidur Sinar matahari Era digital




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :