Minggu, 01/06/2025 07:28 WIB

Kenapa Disebut Gunung Kelud? Ini Asal Usul, Mitos hingga Mistisnya

Kenapa Disebut Gunung Kelud? Ini Asal Usul, Mitos hingga Mistisnya

Gambar Kawah Gunung Kelud (Foto: Infoblitar)

Jakarta, Jurnas.com - Gunung Kelud bukan sekadar gunung api aktif yang berdiri megah di Jawa Timur, tetapi juga simbol sejarah panjang, mitologi lokal, hingga spiritualitas yang masih dipercaya hingga hari ini. Lokasinya melintasi tiga wilayah administratif, yakni Kabupaten Kediri, Blitar, dan Malang.

Nama Gunung Kelud, jika ditinjau dari segi bahasa, ia berasal dari bahasa Jawa. Kata “Kelud” berasal dari istilah Jarwodhosok, gabungan kata ke (kebak atau penuh) dan lud (ludira atau darah). Makna ini merujuk pada gunung yang “penuh darah”, atau tempat yang diyakini dapat merenggut korban tak berdosa saat meletus. Dalam bahasa Belanda, nama Kelud ditulis dengan berbagai varian seperti Klut, Cloot, Kloet, atau Kloete, yang mencerminkan bagaimana kolonial Belanda mencatat aktivitas gunung ini dalam laporan resmi mereka.

Nama lokal lain dari gunung Kelud adalah “sapu”, yang dalam bahasa Jawa berarti alat pembersih. Istilah ini dianggap sebagai simbol kekuatan alam yang mampu ‘menyapu’ wilayah sekitarnya saat meletus, menghancurkan sekaligus menyuburkan tanah yang ditinggalkan.

Sementara itu, Gunung Kelud sudah tercatat lebih dari 30 kali meletus sejak tahun 1000 M, menjadikannya salah satu gunung paling aktif dan berbahaya di Indonesia. Beberapa letusan bahkan masuk dalam catatan sejarah sebagai bencana nasional yang menewaskan ribuan orang.

Letusan terdahsyat terjadi pada tahun 1586, yang menewaskan lebih dari 10.000 jiwa. Sementara letusan tahun 1919 menelan korban hingga 5.160 jiwa akibat banjir lahar yang menghantam pemukiman, dan menjadi pemicu dibangunnya Terowongan Ampera sebagai jalur pengalihan air kawah.

Pada tahun 1990, Kelud meletus selama 45 hari dan melontarkan lebih dari 57 juta meter kubik material vulkanik. Meski pengamatan sudah lebih maju, letusan ini tetap menelan korban jiwa sebanyak 34 orang.

Letusan 2007 dikenal sebagai anomali karena bersifat efusif dan membentuk kubah lava besar tanpa korban besar. Namun pada tahun 2014, Gunung Kelud kembali menunjukkan daya ledaknya dengan kolom abu setinggi 17 kilometer yang terdengar hingga Yogyakarta dan menyebabkan lebih dari 200 ribu orang mengungsi.

Bagi masyarakat di sekitar gunung, letusan demi letusan tidak hanya dimaknai sebagai peristiwa alam. Mereka meyakini bahwa letusan adalah bagian dari kutukan lama yang berasal dari kisah cinta tragis antara Dewi Kilisuci, Lembu Suro, dan Mahesa Suro. Bagaimana kisahnya? Berikut adalah ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.

Legenda menyebut Dewi Kilisuci, putri kerajaan Jenggala, menolak lamaran dua raja berkepala binatang. Ia lalu membuat sayembara membuat dua sumur—satu berbau amis dan satu berbau wangi—di puncak gunung dalam semalam.

Ajaibnya, dua raja sakti itu berhasil menyelesaikan tantangan tersebut. Namun Dewi Kilisuci kemudian memerintahkan mereka masuk ke dalam sumur untuk memastikan baunya, lalu menutup sumur itu dengan batu besar.

Keduanya tewas terkubur. Sebelum menghembuskan napas terakhir, Lembu Suro mengucapkan sumpah: Kediri akan menjadi sungai, Blitar menjadi daratan kosong, dan Tulungagung menjadi danau.

Kutukan ini dipercaya hidup hingga kini dan menjadi alasan mengapa masyarakat setempat rutin menggelar ritual Larung Sesaji setiap 23 Suro untuk menetralisir amarah Lembu Suro. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap gunung yang dianggap punya kekuatan supranatural.

Selain legenda rakyat, Kitab Tantu Panggelaran menyebut Gunung Kelud sebagai bagian dari pecahan Gunung Mahameru yang dipindah para dewa dari India ke Pulau Jawa. Nama awalnya adalah Gunung Kampud, dan ia disebut sebagai salah satu dari sembilan gunung suci dalam kosmologi Hindu Jawa.

Kesucian ini dikuatkan oleh temuan situs-situs purbakala di lereng Kelud, seperti Candi Penataran dan Candi Gambarwetan. Bahkan letusan tahun 1334 disebut dalam Kitab Nagarakrtagama sebagai tanda kelahiran Raja Hayam Wuruk, penguasa besar Majapahit.

Dalam kepercayaan lokal, Kelud juga dikenal memiliki siklus letusan antara 15 hingga 25 tahun. Namun kemunculan “anak gunung” pada 2007 menegaskan bahwa karakter geologisnya bisa berubah sewaktu-waktu.

Bagi masyarakat sekitar, hari Wage dalam kalender Jawa diyakini sebagai waktu rawan letusan. Beberapa letusan besar seperti tahun 1966, 1990, dan 2014 memang terjadi berdekatan dengan hari Wage.

Tak hanya mitos dan sejarah, Gunung Kelud juga menyimpan sisi mistis yang dipercaya hingga kini. Beberapa pendaki melaporkan penampakan perempuan berpakaian putih di jalur ilalang saat mendaki via Tulungrejo, Blitar.

Cerita-cerita semacam ini diperkuat oleh buku “Goenoeng Keloet” karya R. Kartawibawa yang diterbitkan pada 1941. Dalam buku tersebut, Kelud disebut sebagai kerajaan siluman tempat roh manusia berdosa dihukum dengan cara-cara yang mengerikan.

Dikisahkan bahwa roh orang mati suri sempat dibawa ke alam lain dan melihat mereka yang dihukum karena berbuat jahat, munafik, atau mempermainkan agama. Bahkan disebutkan, ada yang dijadikan penarik timba di sumur atau menjadi jembatan di sungai neraka.

Cerita seperti ini menjadi bagian dari kepercayaan lokal yang menganggap Gunung Kelud sebagai ruang transenden antara dunia nyata dan alam gaib. Maka, mendaki Kelud bukan hanya urusan fisik, tapi juga soal menghormati warisan leluhur dan energi alam.

Gunung Kelud mungkin tampak tenang hari ini, tapi di balik pesonanya tersimpan kekuatan yang mampu mengubah wajah sebuah peradaban. Ia mencatat, mengingat, dan bisa saja membalas.

Jika Anda hendak berkunjung atau mendaki, pastikan selalu mengikuti informasi resmi dari PVMBG atau otoritas terkait. Gunung ini bukan hanya lanskap alam, tapi juga lanskap makna yang tak bisa diabaikan begitu saja. (*)

KEYWORD :

Gunung Kelud Mitos gunung Kelud Kutukan Lembu Suro Sejarah gunung Kelud




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :