Sabtu, 31/05/2025 10:22 WIB

19 Tahun Lumpur Lapindo Sidoarjo Masih Menyembur Tanpa Henti

Tepat 19 tahun lalu, dunia dikejutkan oleh peristiwa alam luar biasa yang hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti: semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur. Fenomena yang kini dikenal luas sebagai Lusi (Lumpur Sidoarjo) pertama kali muncul pada 29 Mei 2006 pukul 05.30 WIB, tak jauh dari lokasi pengeboran gas Banjar Panji 1 milik PT Lapindo Brantas.

Ilustrasi - 19 Tahun Lumpur Lapindo Sidoarjo Masih Menyembur Tanpa Henti (Foto: Tirto)

Jakarta, Jurnas.com - Tepat 19 tahun lalu, dunia dikejutkan oleh peristiwa alam luar biasa yang hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti: semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur. Fenomena yang kini dikenal luas sebagai Lusi (Lumpur Sidoarjo) pertama kali muncul pada 29 Mei 2006 pukul 05.30 WIB, tak jauh dari lokasi pengeboran gas Banjar Panji 1 milik PT Lapindo Brantas.

Tragedi yang Mengubah Wajah Sidoarjo

Semburan bermula dari kedalaman sekitar 2.590 meter di bawah tanah, dan dalam waktu singkat meluluhlantakkan wilayah sekitarnya. Delapan desa di tiga kecamatan—Porong, Jabon, dan Tanggulangin—terendam lumpur, menenggelamkan rumah, sekolah, fasilitas umum, dan harapan ribuan keluarga. Tidak tangung-tanggung dampak kerugian yang ditimbulkan dari tragedi ini pun disebut-sebut, diperkirakan hingga Rp60 triliun lebih.

Sebagai tanggap darurat, pemerintah membangun tanggul raksasa untuk membendung lumpur. Pada April 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007, membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang bertugas mengelola dampak dan penanggulangan bencana ini.

Tradisi Tabur Bunga di Tengah Genangan Duka

Setiap tanggal 29 Mei, warga yang terdampak bencana kembali berkumpul untuk mengenang hari nahas itu. Mereka menggelar tabur bunga di sekitar area semburan, sebagai bentuk penghormatan terhadap kampung halaman yang hilang dan solidaritas atas duka yang belum usai. Tradisi ini menjadi simbol perlawanan dan harapan, sekaligus pengingat bahwa luka lama itu belum sembuh.

Pengendalian Lumpur Sidoarjo dari BPLS ke Kementerian PUPR

Pada awalnya, penanganan dilakukan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007. Namun, sejak terbitnya Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2017, tugas dan fungsi BPLS dialihkan ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Implementasinya dituangkan dalam Peraturan Menteri PUPR No. 3 Tahun 2019 dengan pembentukan Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS).

Selama lebih dari satu dekade, empat pilar utama menjadi fokus kegiatan pengendalian. Pertama, penanganan sosial untuk warga terdampak. Kedua, pengendalian semburan lumpur melalui pembangunan dan penguatan tanggul.

Kemudian, yang ketiga, pengaliran lumpur ke Kali Porong agar tidak menggenangi pemukiman baru. Keempat, pembangunan infrastruktur pendukung seperti jalan akses, jembatan, dan fasilitas umum baru.

Potensi Tersembunyi di Tengah Bencana

Di tengah duka yang panjang, muncul pula harapan baru dari potensi yang tersimpan dalam lumpur itu sendiri. Catatan tahun 2023 menyebutkan adanya kandungan logam tanah jarang dan litium dalam material lumpur yang menyembur. Dua mineral ini sangat bernilai dalam industri teknologi, terutama untuk baterai kendaraan listrik dan perangkat elektronik masa depan.

Selain itu, lumpur Sidoarjo mulai diuji coba sebagai bahan bangunan alternatif, seperti bata merah, genteng, agregat, dan beton ringan. Karena sifatnya yang sangat plastis, lumpur ini dapat dicampur dengan bahan tambahan seperti abu batubara, sekam padi, atau pasir untuk menghasilkan material konstruksi yang layak guna dan berbiaya rendah.

Potensi biologis juga tak kalah menarik. Penelitian menunjukkan bahwa lumpur ini mengandung berbagai jenis bakteri ekstrem yang mampu bertahan di suhu tinggi dan salinitas tinggi. Beberapa jenis di antaranya berpotensi dikembangkan dalam industri enzim, antibiotik, dan pupuk hayati ramah lingkungan.

Seiring berjalannya waktu, kawasan terdampak lumpur juga mulai diarahkan menjadi wilayah geowisata. Upaya ini bertujuan untuk memanfaatkan lahan yang telah dibebaskan secara produktif, sembari memberikan edukasi kebencanaan, pelestarian lingkungan, dan menciptakan potensi ekonomi baru bagi masyarakat lokal.

Fenomena Gunung Lumpur yang Langka dan Kompleks

Lumpur yang terus menyembur setiap hari—bahkan hingga 86.000 meter kubik per hari pada 2017—membawa suhu mencapai 100°C dan mengandung material mirip semen. Para ahli geologi mengklasifikasikannya sebagai gunung lumpur atau mud volcano, yaitu fenomena keluarnya lumpur dari perut bumi akibat tekanan gas bawah tanah, bukan karena aktivitas tektonik semata.

Secara geologi, Lusi terletak di zona Kendeng Timur, area rawan deformasi tanah. Dekatnya lokasi ini dengan sesar aktif Watukosek serta gunung api seperti Arjuno-Welirang memberi petunjuk bahwa semburan ini kemungkinan besar juga dipicu oleh aktivitas vulkanik dalam. Studi isotop helium dari lumpur Lusi bahkan menunjukkan kemiripan dengan fluida vulkanik dari Gunung Welirang. Semburan lumpur yang pertama kali terjadi pada 29 Mei 2006 itu berhubungan erat dengan gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006.

Lebih dari Sekadar Bencana Alam

Tidak seperti bencana lain yang bersifat sesaat—banjir, longsor, gempa—Lusi telah berlangsung hampir dua dekade dan menurut sejumlah pakar, bisa berlangsung lebih dari 30 tahun. Ini menjadikannya salah satu bencana lingkungan terlama dalam sejarah Indonesia, bahkan dunia.

Dampaknya pun multidimensi: bukan hanya kehilangan harta dan rumah, tapi juga trauma sosial, ketidakpastian ekonomi, hingga perdebatan hukum yang panjang dan melelahkan.

Belajar dari Lumpur

Kini, di usia ke-19 tahun semburannya, Lusi menjadi simbol: dari tragedi manusia, ketidaksiapan industri energi, sekaligus peringatan bahwa alam punya kekuatan yang tak bisa diremehkan. Namun di sisi lain, kawasan ini juga menjadi laboratorium alam terbuka yang menarik perhatian ilmuwan internasional dari berbagai disiplin ilmu.

Para peneliti, pemerintah, dan masyarakat masih terus mencari cara agar bencana serupa tidak terulang kembali. Di tengah derita yang belum usai, ada harapan bahwa pengetahuan yang dihasilkan dari Lusi dapat mencegah tragedi lain di masa depan. (*)

Sumber: sda.pu.go.id/pusat/ppls/main/page/52-sejarah-semburan, Beritaseputarsidoarjo, dan berbagai sumber lainnya

 
 
KEYWORD :

Lumpur Lapindo Sidoarjo Bencana Alam Lumpur panas




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :