
Para preman pungli diamankan kepolisian. (Foto : Jurnas/Ist).
Jakara, Jurnas.com - Di tengah upaya serius pemerintah Indonesia menegakkan ketertiban umum, isu premanisme kembali menjadi sorotan publik. Belakangan ini, Presiden Prabowo Subianto, dalam arahannya kepada jajaran pemerintahan, menegaskan komitmennya untuk menindak tegas kelompok-kelompok yang meresahkan masyarakat. Dalam lanskap sosial modern, premanisme bukan lagi sekadar tindakan kriminal biasa; ia telah berevolusi menjadi fenomena sosial-politik yang kompleks dan terorganisasi.
Namun sesungguhnya, praktik premanisme bukan barang baru. Jauh sebelum istilah ini dikenal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai “orang jahat (penodong, perampok, pemeras, pungli, dsb)”, dan sebelum teradopsi dari bahasa Belanda vrijman yang artinya orang yang tidak terikat kontrak kerja, jejaknya telah ditemukan dalam lembaran sejarah Islam – tepatnya pada masa Jahiliyyah, bahkan pada zaman Nabi Muhammad ﷺ juga ada.
Premanisme Zaman Jahiliyyah
Mengutip Republika, premanisme dalam sejarah Islam tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tapi juga manipulasi sosial, tekanan ekonomi, hingga pembunuhan karakter. Tokoh sentralnya adalah Abu Jahal, Abu Lahab, dan elit Quraisy lainnya – orang-orang yang secara sistematis mengorganisir kekerasan terhadap kaum muslimin awal.
Abu Jahal, yang dikenal sebagai "Bapak Kebodohan", memelopori aksi brutal terhadap Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya. Ia tidak hanya menindas secara langsung, tapi juga menciptakan sistem pembatasan sosial yang represif: melarang pernikahan, perdagangan, dan interaksi sosial dengan kaum muslim. Ia adalah representasi preman struktural pada masanya – bukan preman jalanan, melainkan preman elit yang merancang kekerasan dengan legitimasi sosial.
Abu Lahab, bersama istrinya, bahkan dijadikan simbol kebinasaan oleh Allah dalam surah Al-Lahab. Pasangan ini dikenal aktif menyebar fitnah, membakar emosi massa, dan menyulut kebencian – cara-cara klasik premanisme yang tak lekang oleh zaman.
Strategi Premanisme, dari Intimidasi hingga Boikot
Melansir Republika, Kaum Quraisy melancarkan strategi premanisme multi-level: dari fisik, psikologis, hingga ekonomi. Ketika umat Islam mulai melaksanakan shalat secara terbuka, mereka diserang. Ketika berdakwah di pasar, mereka dicaci dan disabotase. Bahkan Rasulullah dijuluki gila, dukun, dan penyair – sebuah kampanye disinformasi yang hari ini tak ubahnya doxing atau pembunuhan karakter di media sosial.
Boikot sosial-ekonomi terhadap Bani Hasyim yang berlangsung selama dua tahun menjadi bukti bahwa premanisme tidak hanya soal tinju dan senjata, tapi juga penguasaan akses dan distribusi sumber daya. Dalam tekanan itulah Rasulullah kehilangan dua pelindung utamanya: sang istri, Khadijah, dan paman tercinta, Abu Thalib. Tahun itu dikenal sebagai Aamul Huzn (Tahun Kesedihan).
Premanisme Modern
Hari ini, wajah premanisme jauh lebih kompleks. Bahkan, bukan hanya sekadar preman pasar atau terminal, tapi ada juga yang menjelma dalam bentuk preman elite, berdasi: tokoh-tokoh yang berada dalam lingkar kekuasaan, ekonomi, atau bahkan birokrasi – namun menjalankan modus operandi serupa: menekan, memeras, dan menindas dengan legitimasi struktural.
Premanisme modern juga tak jarang tampil sebagai organisasi massa yang berlindung di balik jargon sosial atau agama, namun sejatinya bergerak dalam pola kekerasan, intimidasi, bahkan pemaksaan ideologi. Fenomena ini menjadi tantangan serius bagi negara hukum seperti Indonesia.
Sementara itu, langkah tegas untuk membubarkan ormas-ormas yang mengganggu ketertiban publik perlu strategi matang dan ciamik guna memotong mata rantai premanisme dalam bentuk barunya – yang rapi, terstruktur, dan seringkali menyusup ke institusi negara.
Strategi Rasulullah SAW Hadapi Premanisme
Sejarah Islam memberi pelajaran bahwa premanisme tidak akan pernah menang atas keteguhan iman, strategi cerdas, dan perlindungan Ilahi. Rasulullah tidak melawan dengan kekerasan, melainkan dengan ketabahan, kecerdikan, dan diplomasi. Bahkan ketika hendak dibunuh oleh 11 orang preman bayaran elit Quraisy, beliau berhasil lolos – bukan karena kekuatan fisik, tapi karena kecemerlangan strategi dan pertolongan Allah.
Di era modern, pemberantasan premanisme memerlukan pendekatan serupa: tidak cukup dengan represif, tapi harus disertai reformasi sistem, penegakan hukum tanpa pandang bulu, serta penguatan institusi sosial dan pendidikan karakter.
Premanisme—baik yang bertelanjang dada maupun yang bersetelan jas—pada dasarnya sama: memaksakan kehendak lewat ketakutan. Dan seperti pada zaman Jahiliyyah, cara terbaik untuk melawannya adalah dengan keberanian kolektif, ketegasan hukum, serta komitmen moral yang tak tergoyahkan. (*)
KEYWORD :Premanisme Kisah Inspiratif Rasulullah Menghadapi preman