Sabtu, 24/05/2025 05:04 WIB

Ketika Eks Preman Menangis di Pelukan Rasulullah Sepulang Haji Wada

Hari itu langit tampak syahdu. Masjid Nabawi dipenuhi lautan air mata. Umat Muslim berkumpul atas panggilan Baginda Rasulullah SAW yang dalam kondisi sakit dan lemah, usai menunaikan Haji Wada`—ibadah terakhir sebelum wafat.

Ilsutrasi Ketika Eks Preman Menangis di Pelukan Rasulullah Sepulang Haji Wada (Foto: Gurusiana)

Jakarta, Jurnas.com - Hari itu langit tampak syahdu. Masjid Nabawi dipenuhi lautan air mata. Umat Muslim berkumpul atas panggilan Baginda Rasulullah SAW yang dalam kondisi sakit dan lemah, usai menunaikan Haji Wada`—ibadah terakhir sebelum wafat.

Di tengah kerinduan yang menyesak, Rasulullah naik ke mimbar, lalu dengan suara lemah namun penuh wibawa, beliau bertanya:

“Wahai sahabat-sahabatku, telahkah aku sampaikan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah?”

"Benar wahai Rasulullah, engkau telah sampaikan," jawab jamaah serempak.

Kemudian, muncul pertanyaan yang membuat dada para sahabat tercekat:

“Adakah aku berutang kepada kalian? Aku ingin menyelesaikan utang itu. Karena aku tidak mau bertemu Allah dalam keadaan berutang kepada manusia.”

Seketika masjid sunyi. Merangkum berbagai sumber, pada waktu itu para sahabat saling menatap heran. Mana mungkin Nabi yang selalu menjadi penolong, pelindung, dan pemimpin yang adil itu memiliki utang kepada siapa pun?

Namun tiba-tiba, seorang lelaki bangkit. Ia adalah Ukasyah bin Mihshan, seorang sahabat yang dahulu dikenal sebagai preman sebelum memeluk Islam.

“Ya Rasulullah, dahulu saat engkau menunggang kuda, engkau cambuk kuda itu dan cambukan itu tak sengaja mengenai dadaku. Jika ini dianggap utang, maka aku ingin menyelesaikannya hari ini,” ucap Ukasyah tenang.

Sahabat lain terperangah. Suasana mendadak memanas. Fatimah, putri Nabi, terpukul mendengar ayahnya yang sedang sakit akan dicambuk. Ia memohon:

“Jika kau ingin memukul, pukullah aku saja, wahai Ukasyah!”

Namun Rasulullah menenangkan semua dan meminta cambuk dibawa kepadanya. Saat Ukasyah mendekat, ia berkata bahwa cambukan dulu mengenainya saat tidak mengenakan pakaian. Maka Nabi membuka bajunya — memperlihatkan tubuh yang penuh keagungan, namun lemah karena sakit dan kelaparan.

Para sahabat tak kuasa menahan air mata melihat batu terikat di perut Nabi sebagai penahan lapar. Hasan dan Husain, cucu beliau, ikut merayu Ukasyah agar tak melukai kakeknya.

Namun Rasulullah bersabda:

“Biarkan, ini urusanku dengan Ukasyah.”

Ukasyah pun maju, menggenggam cambuk. Tapi seketika, ia lemparkan cambuk itu jauh-jauh. Ia berlari, memeluk Rasulullah, dan menangis tersedu:

“Ya Rasulullah, aku tak pernah berniat menyakitimu. Aku hanya ingin kulitku menyentuh kulitmu, karena engkau pernah bersabda: ‘Siapa yang kulitnya menyentuh kulitku, akan diharamkan dari api neraka.’”

Dalam peluk tangis, Nabi Muhammad SAW membalas dengan senyum dan berkata kepada para sahabat:

“Jika kalian ingin melihat ahli surga, maka lihatlah Ukasyah.”

Kisah ini bukan sekadar nostalgia sejarah. Ia adalah refleksi dari kesempurnaan akhlak Nabi Muhammad SAW—yang di tengah sakitnya, tetap ingin memastikan tidak satu pun hak manusia terabaikan.

Kisah Ukasyah pun menjadi pelajaran tentang pertobatan dan cinta. Dari mantan preman, menjadi sahabat surga. Ia menunjukkan bahwa surga bukan untuk orang tanpa cela, melainkan bagi mereka yang jujur, rendah hati, dan tulus mencintai Rasulullah. (*)

“Allahumma sholli ‘ala muhammad wa ‘ala aali muhammad.”

KEYWORD :

Eks Preman Ukasyah Rasulullah SAW Haji Wada




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :