Gambar tikus (foto: Pixabay)
Jakarta, Jurnas.com - Bayangkan dua tikus berjalan ke arah berlawanan dalam sebuah tabung sempit transparan. Di tengah, mereka berhenti sejenak. Salah satunya mundur. Bukan karena kalah besar atau kalah kuat—melainkan karena "bau" lawannya menyiratkan bahwa ia lebih berkuasa.
Penelitian dari Francis Crick Institute, yang dipublikasikan dalam Current Biology, menunjukkan bahwa tikus mampu membaca hierarki sosial melalui penciuman—tanpa perlu berinteraksi secara fisik atau melihat lawannya. Sebuah mekanisme sosial yang halus, efisien, dan jauh dari asumsi lama tentang dominasi yang didasarkan pada agresi atau ukuran tubuh.
Tikus Mengendus Status Sosial
Dalam uji “tube test”, dua tikus dari ujung berbeda bertemu di tengah lorong sempit. Biasanya, tikus dominan akan terus maju, sementara yang subordinat memilih mundur. Tapi yang menarik: peneliti menyadari bahwa keputusan mundur ini bukan karena pengalaman sebelumnya atau perkelahian, melainkan murni karena bau.
Tim peneliti lalu menguji tikus asing—yang belum pernah bertemu sebelumnya. Hasilnya tetap sama: bau tubuh lawan cukup untuk menentukan siapa yang akan mengalah.
Gelap Gulita, Tapi Hirarki Tetap Terbaca
Untuk memastikan bahwa penciuman benar-benar menjadi satu-satunya petunjuk, ruangan diuji dalam kondisi gelap total. Tikus tetap mampu mengenali siapa yang lebih dominan. Bahkan ketika hormon seksual dihilangkan melalui kastrasi, sinyal dominansi dalam bau tubuh tetap ada.
Ini mengindikasikan bahwa aroma dominansi bukanlah hasil dari testosteron atau hormon seks lain, tetapi senyawa kimia lain yang lebih spesifik—dan lebih stabil.
“Mencuri Status” Ketika Bau Bisa Menipu
Peneliti kemudian bereksperimen dengan cara ekstrem: mengecat tikus subordinat dengan urine tikus dominan. Hasilnya mengejutkan—tikus yang sebelumnya selalu mundur, mulai menunjukkan perilaku seperti penguasa. Bahkan tikus asing memperlakukannya dengan hormat.
Eksperimen ini menunjukkan bahwa bau bisa sementara mengubah persepsi status sosial, bahkan jika riwayat interaksi dan perilaku sebelumnya tidak mendukungnya. Sebuah bentuk manipulasi sosial berbasis kimiawi.
Dua Jalur Penciuman, Satu Tujuan Sosial
Tikus menggunakan dua sistem penciuman. Pertama, Main Olfactory Epithelium (MOE) – untuk aroma di udara. Kedua, Accessory Olfactory Bulb (AOB) – untuk bau melalui kontak langsung
Ketika salah satu jalur dihambat, tikus masih bisa mengenali status. Tapi ketika keduanya terganggu, mereka kehilangan kemampuan membedakan siapa yang dominan. Ini menunjukkan bahwa kedua sistem saling melengkapi, dan penting untuk komunikasi sosial.
Aroma untuk Menghindari Konflik
Mengapa evolusi memilih sistem yang tampaknya sepele seperti ini? Jawabannya adalah efisiensi sosial.
Dengan mengenali status sosial dari bau, tikus bisa menghindari konflik fisik yang berisiko cedera. Cukup dengan satu endusan, tikus subordinat tahu untuk mundur. Ini membantu menjaga ketertiban dalam kelompok tanpa perlu kekerasan.
Apakah Bau Dominansi Bersifat Universal?
Peneliti juga menguji tikus dari kelompok yang berbeda dan tanpa pengalaman sosial bersama. Anehnya, mereka tetap bisa mengenali perbedaan status. Artinya, kode bau dominansi bersifat universal di antara tikus, tidak terbatas pada kelompok tertentu.
Lalu bagaimana otak memproses sinyal ini? Studi sebelumnya menunjukkan bahwa korteks cingulate anterior dan prefrontal dorsomedial terlibat dalam persepsi diri terhadap status sosial. Namun, untuk mengenali lawan, peneliti menduga bahwa input dari MOE dan AOB bertemu di amigdala medial dan bed nucleus of the stria terminalis (BNST)—daerah otak yang mengatur respons sosial dan emosional.
Implikasi untuk Manusia
Meski manusia lebih mengandalkan isyarat visual dan verbal, mekanisme kognitif di balik pengenalan status bisa jadi mirip. Kita mungkin tak menyadari, tapi bisa jadi kita juga “mengendus” sinyal sosial dalam cara yang lebih halus—dari bahasa tubuh, intonasi suara, atau bahkan feromon yang tak kita sadari.
Seperti kata Neven Borak, penulis utama studi ini: “Manusia, seperti tikus, bisa masuk ke kelompok baru dan tetap memahami posisi sosial dirinya maupun orang lain.”
Peneliti berencana menggunakan pencitraan otak dan teknik optogenetik untuk memetakan sirkuit saraf secara lebih mendalam. Mereka ingin mengungkap beberapa pertanyaan berikut ini. Senyawa kimia spesifik apa yang menyampaikan status? Bagaimana kondisi psikologis seperti stres atau lapar memengaruhi persepsi aroma? Bisakah kita memanipulasi sistem ini untuk mengubah perilaku sosial?
Studi ini membuka mata bahwa dominasi tidak selalu soal kekuatan, tapi bisa hadir dalam bentuk paling halus: aroma tubuh. Pada tikus, bau bukan hanya pengenal identitas, tapi juga bahasa sosial yang menjaga struktur, mencegah konflik, dan bahkan memungkinkan mobilitas sosial palsu. Dan mungkin, tanpa kita sadari, manusia pun tak sepenuhnya lepas dari pengaruh "aroma sosial".
Sumber: earth.com
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Hierarki sosial tikus penciuman tikus Dominasi tikus Status Sosial



























