Kamis, 22/05/2025 01:37 WIB

Apa Itu Istithaah dalam Ibadah Haji? Syarat Wajib yang Sering Diabaikan

Apa Itu Istithaah dalam Ibadah Haji? Syarat Wajib yang Sering Diabaikan

Ilustrasi ibadah haji (Foto: REUTERS)

Jakarta, Jurnas.com - Ibadah haji merupakan satu-satunya rukun Islam yang tidak bersifat mutlak bagi setiap Muslim. Berbeda dari ibadah rukun Islam lainnya, ibadah haji memiliki satu syarat istithaah atau kemampuan.

Bukan sekadar kemampuan atau kesiapan finansial, tetapi juga kesiapan fisik, mental, dan kondisi perjalanan yang aman. Inilah sebabnya, pelaksanaan ibadah haji tidak diwajibkan bagi semua Muslim secara mutlak. Tanpa istithaah, seseorang tidak diwajibkan untuk berhaji, dan hal ini bukan sekadar keringanan, melainkan bagian dari keadilan syariat Islam.

Lantas, apa itu istithaah? Bagaimana kriteria dan kategorinya? Apa hukum melaksanakan ibadah haji tanpa memenuhi syarat istithaah? Berikut adalah ulasannya yang dirangkum dari berbagai sumber.

Apa Itu Istithaah?

Dalam konteks ibadah haji, istithaah merujuk pada kemampuan seseorang secara fisik, finansial, dan keamanan perjalanan. Ketentuan ini secara eksplisit disebut dalam Surat Ali Imran ayat 97:

"…melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana..." (Ali Imran: 97)

Artinya, ibadah haji hanya wajib bagi mereka yang mampu. Mampu secara kesehatan tubuh, mampu secara ekonomi, dan mampu menempuh perjalanan yang aman.

Dimensi Istithaah: Fisik, Finansial, dan Keamanan

Menurut Konsultan Ibadah PPIH Arab Saudi, KH Abdul Moqsith Ghazali, tidak ada rukun Islam lain yang mensyaratkan kemampuan fisik kecuali haji.

"Satu-satunya ibadah yang mempersyaratkan fisik adalah haji. Orang sakit tetap wajib salat dan berzakat," ujarnya di Makkah, seperti dikutip dari laman resmi Kemenag pada Kamis (21/5).

1. Kemampuan Fisik

Kesehatan fisik penting untuk menjalani rangkaian ibadah haji yang panjang dan menuntut tenaga. Mulai dari wukuf di Arafah, tawaf, sai, mabit di Muzdalifah, hingga melempar jumrah di Mina.

Ulama seperti Syekh Wahbah Az-Zuhayli bahkan menegaskan:

"Istithaah terdiri atas dua jenis: kemampuan fisik dan finansial. Maka haji tidak wajib kecuali bagi mereka yang siap secara kendaraan, perjalanan aman, dan mampu menempuhnya."
(At-Tafsir Al-Wasith, 1442 H)

Di Indonesia, aspek ini diformalkan lewat syarat istithaah kesehatan untuk pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih), sebagaimana diatur Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 142 Tahun 2025.

2. Kemampuan Finansial

Finansial juga tidak kalah penting. Biaya perjalanan, akomodasi, konsumsi, hingga biaya hidup bagi keluarga yang ditinggalkan harus diperhitungkan. Jika seseorang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, maka ia tidak terkena kewajiban berhaji.

3. Keamanan Perjalanan

Faktor eksternal seperti kondisi jalan, akses transportasi, dan keamanan wilayah juga menjadi bagian dari istithaah. Islam tidak memaksakan umatnya mengambil risiko besar demi ibadah yang sejatinya hanya diwajibkan bagi yang mampu.

Kategori Jemaah Menurut Istithaah

Mengutip laman Kemenag, menurut Ketua PP Muhammadiyah dr. H Agus Taufiqurrahman, jemaah haji dapat dibagi menjadi empat kategori. Pertama, memenuhi istithaah sepenuhnya alias siap berangkat, menunaikan ibadah haji. Kedua, istithaah dengan pendampingan, yakni diperbolehkan berangkat setelah didampingi.

Ketiga, belum istithaah sementara. Kategori ini, bisa diberangkatkan jika kondisi membaik, menurut Agus Taufiqurrahman dan Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Kemenag, Muhammad Zain.

Keempat, tidak memenuhi istithaah permanen. Dengan kata lain, tidak perlu melunasi Bipih Contoh kelompok keempat mencakup penderita kanker stadium akhir, stroke berat, TBC resisten obat, HIV AIDS, atau gangguan kejiwaan berat seperti skizofrenia.

Apa Hukum Haji Jika Tidak Istithaah?

Menurut ulama fiqih klasik seperti Syekh Abdullah bin Hijazi As-Sarqawi, seseorang yang tidak istithaah tidak terkena kewajiban haji, namun jika ia tetap melaksanakannya secara sah, maka ibadah hajinya tetap sah dan diterima.

"Orang yang tidak istithaah tidak wajib berhaji, namun jika tetap melaksanakannya maka sah hajinya." (Hasyiyatus Syarqawi ala Tuhfatit Thullab, juz I: 444)

Solusi Bagi yang Tidak Mampu: Badal Haji

Bagi yang secara permanen tidak mampu, seperti lansia yang lemah atau orang dengan penyakit kronis, tersedia solusi berupa badal haji. Misalnya, pelemparan jumrah boleh diwakilkan kepada jemaah lain—dengan syarat perwakilannya sudah menyelesaikan ibadahnya sendiri.

Menurut Prof Huzaemah T Yanggo (Ketua Bidang Fatwa MUI):

"Badal haji adalah bentuk inklusivitas syariat agar tetap memberi ruang bagi mereka yang ingin beribadah tetapi secara syariat tidak memungkinkan."

Beberapa pihak mungkin menilai pengetatan syarat kesehatan sebagai diskriminatif. Namun akademisi dan ulama dari berbagai latar sepakat bahwa langkah ini adalah bagian dari tanggung jawab agama dan negara untuk melindungi keselamatan jemaah dan menjamin kualitas ibadah.

Dekan Fakultas Syariah UIN Alauddin Makassar, Abdul Rauf Muhammad Amin, menegaskan:

"Pengetatan syarat kesehatan dalam konteks istithaah adalah sah dan tidak perlu dipersoalkan."

Beberapa pihak mungkin menilai pengetatan syarat kesehatan sebagai diskriminatif. Namun akademisi dan ulama dari berbagai latar sepakat bahwa langkah ini adalah bagian dari tanggung jawab agama dan negara untuk melindungi keselamatan jemaah dan menjamin kualitas ibadah. (*)

Wallohu`alam

Sumber: haji.kemenag.go.id, nu.or.id, ency.uin-malang.ac.id, mirror.mui.or.id

KEYWORD :

Istithaah haji Syarat Haji Ibadah Haji Kesehatan haji




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :