
Logo KPK
Jakarta, Jurnas.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan tetap berwenang menindak kasus tindak pidana korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meski UU BUMN hasil revisi berlaku.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo menyebut sikap tegas itu dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) sebagai acuan pegawai untuk tetap mengusut kasus korupsi di BUMN. Surat edaran diterbitkan pada awal Mei 2025 lalu.
Surat edaran diterbitkan oleh pimpinan pada awal Mei ini sebagai bentuk komitmen sekaligus pedoman bagi seluruh unit kerja di lingkungan KPK pasca diterbitkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 terkait dengan BUMN," kata Budi Prasetyo dalam keterangannya, Selasa, 20 Mei 2025.
Isi surat edaran tersebut menegaskan bahwa lembaga antirasuah tetap berwenang melakukan penindakan, pencegahan, pendidikan, serta koordinasi dan supervisi terhadap kasus korupsi di BUMN.
Budi menjelaskan jajaran Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas pada BUMN sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 merupakan penyelenggaraan negara, termasuk kerugian di BUMN adalah bagian dari kerugian negara
"Surat edaran untuk lingkungan internal KPK tersebut bersifat untuk meyakinkan dan menegaskan kembali terkait sikap KPK yang telah disampaikan juga kepada publik," kata Budi.
Sebelumnya, KPK menyoroti keberlakuan Pasal 9G UU BUMN yang menyatakan Anggota Direksi atau Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Menurut KPK, ketentuan tersebut kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 7 beserta Penjelasannya dalam UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Ketua KPK Setyo Budiyanto menjelaskan keberadaan UU 28/1999 merupakan hukum administrasi khusus berkenaan dengan pengaturan penyelenggara negara, yang memang bertujuan untuk memerangi KKN.
"Maka, sangat beralasan jika dalam konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi berkenaan dengan ketentuan penyelenggara negara KPK berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 1999," ucap Setyo beberapa waktu lalu.
Terlebih lagi, dalam penjelasan Pasal 9G UU BUMN telah dirumuskan ketentuan yang berbunyi: "Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang".
Setyo menuturkan ketentuan tersebut dapat dimaknai status penyelenggara negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.
"Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan/Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999," ungkap Setyo.
Sebagai penyelenggara negara, maka mereka memiliki kewajiban untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK dan penerimaan gratifikasi.
Setyo juga menyinggung Pasal 4B UU BUMN yang berkenaan dengan kerugian BUMN bukan kerugian keuangan negara serta Pasal 4 ayat 5 mengenai modal negara pada BUMN merupakan kekayaan BUMN.
Setyo menerangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 48/PUU-XI/2013 dan 62/PUU-XI/2013 yang kemudian dikuatkan dengan putusan nomor: 59/PUU-XVI/2018 dan 26/PUU-XIX/ 2021 menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan.
MK menyatakan konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN yang merupakan derivasi penguasaan negara, sehingga segala pengaturan di bawah UUD tidak boleh menyimpang dari tafsir konstitusi MK.
"Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana (TPK) kepada Direksi/Komisaris/Pengawas BUMN," ungkap Setyo.
KEYWORD :KPK UU BUMN Direksi BUMN Penyelenggara Negara Korupsi