
Aksi mahasiswa duduki Gedung DPR/MPR (Foto: Posko Jenggala)
Jakarta, Jurnas.com - Hari ini 27 tahun yang lalu, tepatnya pada 18 Mei 1998 ribuan mahasiswa dari berbagai kampus, termasuk Universitas Indonesia dan Forum Kota (Forkot), berdatangan ke kompleks DPR/MPR dengan kepala terikat pita merah sebagai simbol perlawanan.
Mereka bertekad menduduki Gedung DPR/MPR sebagai bentuk tekanan politik agar segera digelar Sidang Istimewa. Suasana berubah drastis ketika massa berhasil menerobos masuk dan menguasai halaman serta ruang-ruang di dalam gedung.
Langkah itu menjadi simbol keberanian sipil yang selama puluhan tahun terbungkam. Pendudukan ini menandai awal dari babak paling menentukan dalam sejarah reformasi Indonesia, sekaligus pukulan telak terhadap legitimasi kekuasaan Soeharto yang telah memerintah selama lebih dari tiga dekade.
Tekanan kian menguat ketika siang harinya Ketua DPR/MPR Harmoko, yang sebelumnya dikenal sebagai pendukung setia Soeharto, justru menyarankan presiden agar mengundurkan diri. Pernyataan itu mengejutkan banyak pihak, karena bertolak belakang dengan sikapnya pada Sidang Umum Maret sebelumnya yang memuji Soeharto.
Pergeseran sikap elite parlemen mempertegas bahwa dukungan politik terhadap Soeharto mulai rapuh. Di saat yang sama, gelombang massa terus berdatangan ke Senayan. Mahasiswa memilih bertahan di dalam gedung, sementara rakyat dari berbagai lapisan ikut mengalir memberikan dukungan.
Malamnya, atmosfer Gedung DPR/MPR berubah menjadi pusat konsolidasi gerakan rakyat. Mahasiswa mulai menginap, dan berbagai tokoh masyarakat, termasuk penyair WS Rendra, hadir di tengah mereka. Rendra bahkan membacakan puisi di hadapan massa, menyalakan semangat perlawanan dengan bahasa yang menyentuh dan membakar jiwa.
Namun di sisi lain, Presiden Soeharto mencoba mempertahankan kendali. Pada hari yang sama, ia menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 1998, yang memberikan kewenangan penuh kepada Panglima ABRI Jenderal Wiranto untuk mengambil langkah guna menjaga stabilitas nasional.
Publik segera menangkap sinyal kuat dari dokumen tersebut. Banyak yang menganggapnya sebagai “Supersemar baru” karena menyerupai surat perintah yang dulu digunakan Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dari Presiden Sukarno pada 1966. Kini, ia seolah ingin mengulang cara yang sama untuk mempertahankan tahta.
Namun, reaksi dari ABRI justru menunjukkan adanya keretakan internal. Jenderal Wiranto menegaskan bahwa pernyataan pimpinan DPR/MPR mengenai pengunduran diri Soeharto hanyalah pendapat pribadi, bukan hasil musyawarah formal. Ia menawarkan solusi lain berupa pembentukan Dewan Reformasi yang melibatkan unsur masyarakat dan kampus.
Usulan Wiranto seolah hendak meredam desakan publik tanpa benar-benar memenuhi tuntutan utama: pengunduran diri Soeharto. Di tengah kebingungan itu, Kepala BAKIN Mutojib menyampaikan bahwa Presiden Soeharto akan memberikan tanggapan resmi keesokan harinya, 19 Mei 1998.
Meski situasi semakin genting, semangat mahasiswa dan rakyat tidak surut. Pendudukan Gedung DPR/MPR pada 18 Mei menjadi simbol keberanian yang langka dan nyaris tak terbayangkan pada masa sebelumnya. Aksi itu menciptakan tekanan politik yang luar biasa besar dari luar sistem.
Apa yang terjadi hari itu membuka jalan bagi perubahan besar. Tiga hari setelahnya, pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto resmi menyatakan pengunduran dirinya. Rezim Orde Baru pun runtuh, membuka era baru bernama Reformasi.
Kini, dua puluh tujuh tahun berlalu sejak mahasiswa melangkahkan kaki ke dalam gedung `berkubah` warna hijau itu. Tapi gema langkah mereka masih terasa. 18 Mei bukan sekadar tanggal, melainkan momentum yang membuktikan bahwa rakyat bisa, dan berhak, menentukan arah sejarah bangsanya sendiri. (*)
KEYWORD :Mahasiswa 18 Mei Gedung DPR Reformasi