
Gambar hewan kurban - Ilustrasi Sejarah Kurban dan Tradisi Patungan di Zaman Rasulullah(Foto: Dok. Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Ibadah kurban bukan sekadar penyembelihan hewan, melainkan warisan spiritual yang sarat nilai ketakwaan dan kepasrahan. Sejarahnya merentang panjang sejak era Nabi Adam AS dan Nabi Ibrahim AS, hingga kemudian disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai bagian dari syariat Islam yang hidup dan terus dijalankan umat Muslim hingga kini.
Jejak Kurban dalam Lintasan Sejarah Kenabian
Kisah kurban bermula dari pengorbanan dua anak Nabi Adam, Habil dan Qabil. Lalu diabadikan dalam sejarah Nabi Ibrahim AS yang rela menyembelih putranya, Ismail AS, demi mentaati perintah Allah SWT. Namun, syariat kurban secara formal dan menyeluruh diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya, menjadikannya ibadah tahunan yang mengakar kuat dalam ajaran Islam.
Perintah berkurban ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Kautsar ayat 3:
Kisah Mudik Rasulullah SAW pada 10 Ramadan
"Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah." (QS. Al-Kautsar: 3)
Perintah berkurban juga tertuang dalam QS. Al-Hajj ayat 34:
"Bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban) agar mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang dianugerahkan-Nya kepada mereka..."
Menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, perintah kurban bukan hanya ritual, tetapi media pendekatan diri kepada Allah SWT. Kata “mansakan” dalam ayat tersebut berasal dari “nasak” yang artinya penyembelihan, menandakan tempat dan praktik ibadah yang sakral.
Kurban di Zaman Rasulullah
Nabi Muhammad SAW mencontohkan langsung pelaksanaan kurban sebagai bentuk ketaatan yang sempurna. Dalam peristiwa Haji Wada’ (Haji Perpisahan) tahun 10 Hijriah, beliau berkurban dengan 100 ekor unta. Sebanyak 63 ekor disembelih dengan tangan beliau sendiri, sisanya oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
"Rasulullah SAW menyembelih 63 ekor unta dan mewakilkan Ali untuk menyembelih sisanya." (HR. Ibnu Hibban)
Di waktu lain, beliau juga berkurban dengan dua ekor kambing jantan bertanduk besar dan berwarna putih. Semua dilakukan setelah salat Idul Adha, sebagaimana ketentuan dalam syariat Islam.
Namun yang terpenting, seperti ditegaskan dalam QS. Al-Hajj ayat 37, bukan darah atau daging yang Allah kehendaki, melainkan ketakwaan:
"Daging dan darah hewan kurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian."
Tradisi Patungan Kurban
Fenomena patungan kurban yang kini marak di masyarakat ternyata bukan inovasi baru. Mengutip laman Nahdlatul Ulama, Rasulullah SAW sendiri pernah ikut dalam praktik kolektif kurban ini.
Dalam sebuah hadis riwayat Imam Ahmad, disebutkan bahwa Nabi SAW dan enam sahabatnya berpatungan untuk membeli satu ekor hewan kurban seharga tujuh dirham. Masing-masing menyumbang satu dirham.
"Aku adalah orang ketujuh bersama Rasulullah SAW. Kami mengumpulkan tujuh dirham untuk membeli satu hewan kurban. Kami katakan hewan ini mahal, lalu Nabi bersabda, `Sebaik-baik kurban adalah yang mahal dan gemuk.`"
Ini menjadi dasar hukum bolehnya patungan kurban, khususnya untuk hewan besar seperti sapi atau unta yang diperbolehkan untuk tujuh orang. Sedangkan kambing dan domba hanya sah untuk satu orang.
Degnan demikian, kurban di masa Rasulullah SAW bukan hanya bentuk ketaatan individu, tapi juga dimensi sosial yang kuat. Daging hewan kurban dibagikan kepada fakir miskin dan kerabat, mempererat tali ukhuwah dan memupuk solidaritas.
Tradisi ini terus dilestarikan umat Islam hingga kini. Dari kampung-kampung hingga kota besar, kurban menjadi perayaan spiritual dan sosial yang menyatukan hati dan meneguhkan iman. (*)
Wallohu`alam
KEYWORD :Sejarah Kurban Patungan Kurban Sapi Kurban Rasulullah SAW