
Ilustrasi - 15 Mei 1998 Api Kerusuhan Mereda, Rezim Soeharto Mulai Tumbang (Foto: Kompas)
Jakarta, Jurnas.com - Hari ini 27 tahun yang lalu, tepatnya pada 15 Mei 1998, Jakarta mulai tenang. Asap hitam yang tiga hari sebelumnya menyelimuti langit ibu kota perlahan menghilang.
Namun jejak kehancuran masih membekas, di antaranya toko-toko hangus terbakar, kendaraan menjadi bangkai besi, dan trauma menggantung di benak masyarakat. Inilah titik akhir dari salah satu kerusuhan sosial-politik paling kelam dalam sejarah Indonesia—Kerusuhan Mei 1998.
Berakhirnya kerusuhan pada 15 Mei 1998 bukan berarti Indonesia pulih seketika. Sebaliknya, hari itu menandai mulai runtuhnya legitimasi Orde Baru. Di balik keheningan yang menyelimuti Jakarta, tekanan terhadap Presiden Soeharto untuk lengser dari tampuk kekuasaan semakin tak terbendung. Ajal kekuasaan Soeharto mulai nampak. Rezim Soeharto mulai tumbang.
Ekonomi Kusut, Politik Tersulut
Mengutip laman Kontras, Komnas Perempuan, Historia serta berbagai sumber lainnya, krisis ini bukanlah ledakan spontan. Akar permasalahan terletak pada krisis moneter Asia 1997 yang melumpuhkan perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah anjlok tajam, inflasi meroket, dan PHK massal melanda. Ketimpangan sosial-ekonomi yang tertutup rapat oleh propaganda Orde Baru meledak.
Namun api sebenarnya disulut pada 12 Mei 1998. Penembakan terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti yang melakukan demonstrasi damai menjadi titik balik. Publik, terutama mahasiswa dan kelas menengah, marah. Kemarahan ini berubah menjadi gelombang demonstrasi dan kerusuhan di berbagai kota besar, seperti Jakarta, Medan, dan Surakarta.
Jakarta Terbakar
Mengutip laman Perpustakaan Komnas Perempuan, salah satu tragedi paling memilukan dalam Kerusuhan Mei 1998 terjadi di Toserba Yogya, Klender, Jakarta Timur. Ratusan orang terperangkap dan tewas terbakar. Di tengah kaos obral dan lorong rak kosong, tubuh-tubuh hangus ditemukan tanpa identitas.
Lebih memilukan lagi, laporan-laporan kekerasan seksual terhadap perempuan—terutama etnis Tionghoa—mengemuka. Banyak di antaranya mengalami pemerkosaan brutal, bahkan hingga berujung kematian. Ita Martadinata Haryono, seorang relawan remaja berusia 18 tahun, menjadi simbol betapa kelamnya sisi kemanusiaan dalam kerusuhan ini. Ia diperkosa dan dibunuh karena keberaniannya bersuara.
Ketika Api Padam, Suara Reformasi Menggema
Mengutip berbagai sumber, pada 15 Mei, kekacauan perlahan surut. Aparat mulai mengendalikan keadaan. Namun, gelombang mahasiswa tidak berhenti. Ribuan orang memadati kompleks DPR/MPR di Senayan, menuntut perubahan total: Reformasi atau revolusi.
Sementara itu, Soeharto yang tengah berada di Kairo sempat menyatakan tidak berniat mundur. Namun tekanan politik semakin kuat. Ketua DPR/MPR Harmoko secara terbuka meminta presiden lengser. Sejarah mencatat, enam hari kemudian, pada 21 Mei 1998, Soeharto resmi mundur setelah 32 tahun berkuasa. Wakilnya, B.J. Habibie, naik menggantikan.
Dampak Kerusuhan Mei 1998
Mengutip laman fahum.umsu.ac.id, kerusuhan ini menjadi lonceng kematian bagi Orde Baru. Setelah Soeharto mundur, Indonesia memasuki era Reformasi, dengan janji demokrasi, transparansi, dan keadilan.
Dampak lainnya, lahirnya sistem multipartai, pemilu langsung, kebebasan pers, dan amandemen UUD 1945. Kemudian, luka sosial yang belum sembuh. Ratusan korban jiwa, lebih dari 1.000 orang tewas, puluhan hilang, serta ratusan kasus kekerasan seksual belum seluruhnya mendapatkan keadilan. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sempat dibentuk, tetapi hasilnya minim tindak lanjut.
Selain itu, peristiwa ini membuka diskusi nasional tentang diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Banyak dari mereka memilih meninggalkan Indonesia, sebagian trauma seumur hidup.
Siapa Dalang Kerusuhan Mei 1998?
Hampir tiga dekade telah berlalu, namun siapa yang benar-benar bertanggung jawab atas kerusuhan Mei 1998 masih menjadi misteri. Apakah ini spontanitas massa yang marah, atau ada rekayasa politik terstruktur? Banyak pihak menyebutnya sebagai “Kristallnacht Indonesia”, mengacu pada malam penghancuran toko Yahudi oleh Nazi di Jerman tahun 1938.
Rentetan peristiwa 12-15 Mei 1998 adalah pengingat akan bahaya kekuasaan absolut, pentingnya keadilan sosial, dan betapa rapuhnya jalinan kebhinekaan jika tidak dijaga. Mengingatnya bagian dari tanggung jawab sejarah.
Indonesia pasca-1998 masih terus berbenah. Tapi luka dan pelajaran dari Mei itu adalah bagian penting dari identitas bangsa—yang harus terus diingat agar tidak terulang kembali. (*)
KEYWORD :
15 Mei Kerusuhan Mei 1998 Soeharto Orde Baru Reformasi