Rabu, 14/05/2025 21:09 WIB

CONIFA, Konfederasi Khusus Negara-Negara Termajinalkan

pa jadinya apabila konfederasi justru tidak diakui oleh FIFA? Inilah yang terjadi oleh CONIFA, kependekan dari Confederation of Independent Football Associations. CONIFA dikhususkan bagi negara-ngara yang tidak mendapatkan tempat di FIFA.

Pertandingan antar negara-negara CONIFA (Foto: Guardian)

Jakarta, Jurnas.com - Konfederasi menjadi wadah komunikasi dan perlindungan bagi negara-negara sepak bola dalam ruang lingkup wilayah tertentu. Karena itu, konfederasi umumnya berada di bawah FIFA sebagai organisasi sepak bola tertinggi.

Namun, apa jadinya apabila konfederasi justru tidak diakui oleh FIFA? Inilah yang terjadi oleh CONIFA, kependekan dari Confederation of Independent Football Associations. CONIFA dikhususkan bagi negara-ngara yang tidak mendapatkan tempat di FIFA.

Didirikan pada tahun 2013, CONIFA bermarkas di Luleå, Swedia. Tujuannya sederhana, yaitu memberikan panggung bagi tim-tim nasional dari entitas politik, budaya, atau etnis yang tidak diakui oleh PBB ataupun FIFA.

Mulai dari negara yang belum diakui, seperti Abkhazia dan Somaliland, hingga komunitas diaspora seperti Tamil Eelam dan Western Armenia. CONIFA menampung negara-negara tersebut dengan tangan terbuka.

Turnamen utamanya adalah CONIFA World Football Cup, yang mulai digelar pada 2014 di Swedia. Sejak itu, turnamen ini diadakan setiap dua tahun dan menghadirkan pertandingan yang tak hanya menarik secara teknis, tapi juga emosional.

Tim macam Tibet, yang tak diizinkan bermain di bawah bendera FIFA, bisa melantunkan lagu kebangsaan mereka di hadapan dunia. Atau Northern Cyprus, yang tampil dominan meskipun negaranya hanya diakui oleh satu negara lain di dunia.

Berbeda dari FIFA yang penuh sponsorship raksasa dan siaran multinasional, CONIFA justru tumbuh dari solidaritas komunitas. Turnamennya disiarkan secara daring, didukung relawan, dan dibiayai oleh komunitas diaspora, LSM, hingga dana swadaya.

Tapi justru dari kesederhanaan itulah muncul magnet tersendiri, sebuah ajang di mana nilai kemanusiaan dan martabat kelompok minoritas diangkat melalui sepak bola.

Pada 2018, tim Kárpátalja yakni representasi etnis Hungaria di Ukraina Barat, menjuarai turnamen yang diselenggarakan di London. Mereka bahkan lolos ke final dengan status pengganti tim lain yang batal tampil. Cerita semacam ini umum di CONIFA.

Dikatakan, CONIFA tidak hanya menjadi organisasi olahraga alternatif, tetapi juga simbol resistensi damai bagi bangsa-bangsa kecil yang termarjinalkan. Di sinilah Tibet bisa bersuara, Sápmi (representasi orang Sami di Skandinavia) bisa berlari di lapangan, dan Panjab (komunitas diaspora India) bisa merayakan identitasnya secara terbuka.

Seiring meningkatnya atensi dunia terhadap isu-isu minoritas dan identitas, CONIFA menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Dunia sepak bola yang selama ini dikuasai negara-negara besar, kini perlahan menyisakan ruang bagi yang tak bersuara.

KEYWORD :

CONIFA Konfederasi Negara Termarjinalkan Abkhazia Somaliland




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :