
Gambar Candi Borobudur (Foto: Worldhistory)
Jakarta, Jurnas.com - Candi Borobudur, mahakarya arsitektur Buddha terbesar di dunia yang ada di Indonesia, tak hanya menyimpan nilai sejarah dan budaya tinggi, tetapi juga dipenuhi kisah misterius dan mitos yang terus hidup dalam ingatan masyarakat.
Di balik kemegahan batu-batu yang disusun tanpa perekat ini, tersimpan kisah-kisah mistis, mitos turun-temurun, serta teka-teki yang belum sepenuhnya terpecahkan—bahkan sejak zaman dahulu.
Dari cerita rakyat hingga kepercayaan spiritual, candi Buddha yang berlokasi di Borobudur, Magelang Jawa Tengah ini terus memainkan peran penting dalam membentuk estetika, arsitektur dan identitas budaya Indonesia.
Salah satu misteri terbesar yang terus mengundang perdebatan adalah asal usul namanya. Mengutip laman World History, belakangan ini, belum ada satu pendapat yang benar-benar disepakati para sarjana.
Sebagian ahli meyakini nama Borobudur berasal dari frasa Sanskerta Vihara Buddha Uhr, yang berarti "biara Buddha di atas bukit". Dugaan ini diperkuat oleh posisi geografis candi yang memang terletak di ketinggian dan menyerupai sebuah mandala tiga dimensi.
Namun ada pula yang berpendapat bahwa kata "Budur" bukan berasal dari bahasa Sansekerta, melainkan hanya nama lokasi dalam bahasa Jawa. Interpretasi ini menunjukkan bahwa Borobudur bisa saja berarti “desa Budur” atau “biara di wilayah Budur”.
Pandangan lain datang dari sebuah prasasti bertahun 842 Masehi yang menyebut istilah Bhumisambharabhudara, atau "Gunung Sepuluh Tingkat Kebajikan Bodhisatwa". Nama ini diyakini mewakili struktur Borobudur yang bertingkat sepuluh sebagai lambang jalan spiritual dalam ajaran Buddha Mahayana.
Beberapa peneliti mengaitkan nama “Borobudur” dengan “Bharabhudara”, bentuk pendek dari istilah dalam prasasti tersebut. Hipotesis ini memperkuat dugaan bahwa nama candi berkaitan langsung dengan konsep kosmologi spiritual.
Di sisi lain, Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java menyampaikan bahwa ia mendengar nama Borobudur berasal dari masyarakat lokal. Ia mencatat bahwa “boro” berarti desa atau besar, sementara “budur” berasal dari kata “purba” sehingga Borobudur dimaknai sebagai “desa kuno” atau “keagungan masa lampau”.
Namun dalam catatan pribadinya, Raffles juga pernah menafsirkan bahwa “budur” berasal dari kata “Buddha”, menjadikan Borobudur sebagai “Buddha yang agung”. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan Raffles sendiri menyampaikan dua versi berbeda mengenai asal usul nama candi.
Sementara itu, pakar sastra Jawa kuno R.M. Ng. Poerbatjaraka berpendapat bahwa “boro” dapat diartikan sebagai “biara”, seperti dalam nama tempat “Boro Kudul” yang berarti biara di selatan. Ini menguatkan kemungkinan bahwa Borobudur dulunya memang adalah kompleks biara di wilayah utara.
Niken Wirasanti, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, menuliskan dalam Borobudur: Misteri Batu Tak Berujung bahwa nama Borobudur sudah melekat saat candi ditemukan kembali, tanpa penjelasan asal-usul yang pasti. Ia menyebut banyaknya misteri tentang Borobudur bahkan dimulai dari namanya sendiri.
Selain soal nama, Borobudur juga dikelilingi oleh berbagai mitos yang hingga kini masih dipercaya masyarakat. Mitos-mitos ini memperkuat aura spiritual candi sekaligus menambah daya tariknya sebagai destinasi ziarah dan wisata budaya.
Ada kepercayaan bahwa Borobudur dibangun hanya dalam semalam oleh kekuatan gaib yang tidak diketahui. Cerita ini lahir dari kekaguman atas presisi dan keagungan konstruksi batu raksasa tanpa semen yang mampu bertahan lebih dari 1.200 tahun.
Berdasarkan catatan sejarah, dikutip dari World History, pembangunan Candi Borobudur diperkirakan berlangsung sekitar 650-1025 Masehi, selama masa Dinasti Syailendra. Beberapa sumber meyakini bahwa pembangunan candi ikonik ini memakan waktu puluhan tahun dengan teknik rekayasa batu yang luar biasa.
Sementara itu, sebagian pengunjung juga percaya bahwa siapa pun yang bersikap tidak sopan di area candi akan mendapatkan kesialan. Hal ini diyakini sebagai bentuk perlindungan tak kasat mata terhadap kesucian tempat.
Di sisi lain, stupa utama Borobudur diyakini menyimpan arca Buddha yang bisa mengabulkan permintaan jika disentuh sambil memanjatkan doa. Meskipun kini sentuhan fisik ke dalam stupa tidak lagi diperbolehkan, kepercayaan tersebut tetap hidup.
Beberapa kalangan spiritual bahkan mengaitkan struktur Borobudur dengan peta kosmos atau ramalan perubahan zaman. Mereka menyebut relief dan bentuk mandala Borobudur sebagai “kode peradaban” yang belum seluruhnya terbaca.
Ada pula kisah bahwa Borobudur pernah “menghilang” dari peradaban selama berabad-abad. Tertutup abu vulkanik dan hutan lebat, candi ini baru ditemukan kembali pada 1814 berkat ekspedisi Raffles.
Fakta bahwa candi sebesar ini bisa terkubur dan terlupakan begitu lama menambah kesan mistis akan kekuatan alam atau bahkan kekuatan lain di luar nalar. Sebagian masyarakat mengaitkannya dengan kutukan atau kehendak leluhur yang belum waktunya diungkap.
Berdasarkan catatan sejarah, Candi Borobudur memang sempat tertutup abu vulkanik dan ditumbuhi semak belukar, hingga ditemukan kembali pada 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles. Proses pemugaran besar-besaran dilakukan oleh UNESCO dan pemerintah Indonesia pada abad ke-20.
Mitos menjadi bagian dari narasi kebudayaan. Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan, kisah-kisah ini tetap lestari karena menjadi medium masyarakat lokal menjaga ingatan kolektif, nilai-nilai spiritual, serta warisan leluhur.
Terlepas dari mitos dan cerita mistisnya, Borobudur adalah simbol kejayaan peradaban Nusantara yang patut dijaga. Baik dilihat dari sisi historis, spiritual, maupun kebudayaan, Candi Borobudur tetap menjadi magnet wisata dan pusat refleksi bagi jutaan orang dari seluruh dunia. (*)
KEYWORD :Candi Borobudur Mitos Candi Borobudur Misteri Sejarah Candi Borobudur