
Ilustrasi uji coba atau tes nuklir (Foto VOA Indonesia)
Jakarta, Jurnas.com - Belakangan ini, India dan Pakistan kembali menjadi sorotan dunia setelah ketegangan antar kedua negara bersenjata nuklir itu memanas pada awal Mei 2025. Sebelumnya, pada Mei 1998, kedua negara di Asia Selatan itu juga sempat menjadi pusat perhatian dunia karena melakukan uji coba atau tes nuklir dalam waktu berselang dua minggu.
Tes nuklir tersebut dilakukan India pada 11 dan 13 Mei, Pakistan membalas pada 28 Mei. Kejadian ini tidak hanya memicu kecaman global dan sanksi internasional, tetapi juga mengukuhkan kawasan tersebut sebagai salah satu titik rawan konflik nuklir paling berbahaya di dunia.
Mengutip laman Arms Control Assosiation, ketegangan historis antara India dan Pakistan bermula sejak pemisahan dari Inggris tahun 1947. Konflik berulang atas wilayah Kashmir memperburuk hubungan keduanya, yang akhirnya berpuncak pada perlombaan senjata nuklir. India, yang pertama kali melakukan uji coba senjata nuklir pada 1974, merasa terjepit oleh sistem nonproliferasi global yang dianggap bias dan mengancam kedaulatan strategisnya.
Menurut laman Armscontrol pemerintahan Atal Bihari Vajpayee merasa sistem global seperti NPT dan CTBT semakin membatasi ruang gerak India tanpa memberi jaminan disarmament dari negara-negara besar. Selain itu, klausa-klausa dalam CTBT, terutama tentang syarat ratifikasi yang berat sebelah, dipandang sebagai bentuk tekanan terhadap kedaulatan India.
Sebaliknya, Pakistan yang sejak lama merasa inferior dalam kekuatan militer konvensional, menjadikan senjata nuklir sebagai penyeimbang utama terhadap dominasi India. Maka ketika India menguji coba perangkat nuklirnya, Pakistan langsung menanggapi dengan cara serupa demi menjaga kredibilitas dan keamanan nasional.
Respons internasional terhadap dua uji coba tersebut sangat keras, terutama dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang mengutuk langkah India dan Pakistan. Amerika Serikat bahkan memberlakukan sanksi ekonomi dan diplomatik kepada keduanya, serta mendesak agar mereka menandatangani CTBT dan menghentikan perlombaan senjata.
Meski tekanan internasional meningkat, baik India maupun Pakistan tidak bergeming. India hanya menawarkan moratorium uji coba tanpa bersedia menandatangani CTBT, sementara Pakistan mengikuti langkah serupa dengan argumen senjata nuklir adalah senjata terakhir dalam menjaga perdamaian di kawasan.
Dalam upaya meredakan ketegangan, AS mengutus Strobe Talbott untuk membuka jalur diplomasi langsung dengan kedua negara, terutama India. Dialog antara Talbott dan Menlu India saat itu, Jaswant Singh, menjadi salah satu perundingan strategis paling penting dalam sejarah hubungan India-AS pasca-Perang Dingin.
Namun, dialog tersebut tidak pernah benar-benar menghasilkan komitmen konkret dari India, selain janji samar bahwa mereka akan mempertimbangkan CTBT pada waktunya. Di sisi lain, Pakistan pun tidak menunjukkan kesediaan lebih besar, karena merasa berada di posisi yang dibayangi ancaman India.
Sementara itu, upaya AS sendiri melemah dari dalam, setelah pada Oktober 1999 Senat AS gagal meratifikasi CTBT. Kegagalan ini membuat posisi moral AS melemah dalam mendorong negara lain untuk menerima perjanjian yang bahkan tak bisa disahkan di rumahnya sendiri.
Di tengah dialog yang belum tuntas dan tekanan internasional yang mulai longgar, konflik di lapangan kembali meningkat. Pada Mei 1999, hanya setahun setelah uji coba, Pakistan meluncurkan operasi infiltrasi di kawasan Kargil, memicu perang terbuka terbatas dengan India.
Upaya Clinton untuk menjadikan penandatanganan CTBT sebagai pencapaian besar menghadapi kegagalan domestik. Pada Oktober 1999, Senat AS menolak ratifikasi CTBT. Dengan hanya 48 suara mendukung dari 100, perjanjian itu gagal mencapai ambang dua pertiga suara yang dibutuhkan. Ironisnya, AS yang selama ini mendorong India dan Pakistan untuk menandatangani CTBT, justru gagal mengesahkan perjanjian itu sendiri.
Uji coba nuklir 1998 tidak hanya menciptakan dampak langsung berupa sanksi dan isolasi diplomatik, tetapi juga melahirkan apa yang disebut “stabilitas/instabilitas paradoks”. Dengan senjata nuklir di tangan, perang besar mungkin dapat dicegah, namun konflik skala kecil justru meningkat. Hal ini terlihat dalam Perang Kargil tahun 1999—hanya setahun setelah uji coba nuklir—yang menunjukkan betapa mudahnya konflik konvensional di kawasan ini bisa meningkat menjadi konfrontasi nuklir.
Uji coba nuklir 1998 menandai babak baru dalam sejarah Asia Selatan dan politik nuklir global. Dentuman yang terjadi di gurun dan pegunungan pada bulan Mei itu masih menggema hingga kini, sebagai pengingat bahwa stabilitas tidak pernah dijamin hanya dengan kepemilikan senjata paling mematikan. (*)
KEYWORD :
11 Mei Nuklir India dan Pakistan Sejarah nuklir India-Pakistan