
Baju bertuliskan Barisan Marsinah dipakai demonstran dalam rangka Hari Buruh - Ilustrasi Marsinah, Luka Sejarah 8 Mei dan Janji yang Belum Tuntas (Foto: Ist/Jurnas.com)
Jakarta, Jurnas.com - Tanggal 8 Mei menjadi penanda luka kolektif dalam sejarah gerakan buruh Indonesia. Pada hari inilah, 32 tahun lalu, tepatnya pada 8 Mei 1993, tubuh Marsinah — seorang buruh sekaligus aktivis perempuan dari PT Catur Putra Surya (CPS), Porong, Sidoarjo — ditemukan tak bernyawa di hutan jati Dusun Jegong, Nganjuk. Marsinah dibunuh secara brutal setelah memimpin aksi mogok kerja menuntut kenaikan upah dan kondisi kerja yang manusiawi.
Mengutip berbagai sumber, perempuan kelahiran Nglundo, 10 April 1969 ini bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS), Porong, Sidoarjo, di masa represif Orde Baru. Ia dikenal vokal memperjuangkan hak-hak buruh, khususnya perempuan, termasuk soal upah minimum, cuti hamil, dan lembur.
Aksi mogok yang dipimpinnya pada awal Mei 1993 melibatkan 150 dari 200 buruh CPS yang menuntut kenaikan upah harian dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250. Namun keberaniannya memicu konsekuensi mengerikan yang kemudian mengguncang negeri.
Tubuh Marsinah ditemukan dalam kondisi mengenaskan, penuh luka memar, tulang panggul hancur, dan tanda-tanda kekerasan seksual. Kejamnya pembunuhan itu membuat publik marah dan gelombang solidaritas pun bermunculan dari berbagai penjuru.
Kasus ini segera menarik perhatian nasional dan internasional, memicu terbentuknya Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM). Pemerintah Orde Baru saat itu merespons dengan membentuk tim investigasi khusus yang malah menyisakan banyak pertanyaan.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam tanpa prosedur hukum yang jelas, termasuk seorang manajer HRD yang tengah hamil. Mereka mengaku di bawah tekanan dan dugaan penyiksaan, namun penyelidikan itu tidak pernah benar-benar menemukan dalang sebenarnya.
Yudi Susanto, pemilik PT CPS, sempat divonis 17 tahun penjara namun kemudian dibebaskan oleh Mahkamah Agung setelah mengajukan kasasi. Semua terdakwa akhirnya bebas tanpa ada satu pun yang benar-benar mempertanggungjawabkan pembunuhan Marsinah.
Kebebasan para terdakwa ini membuat publik semakin curiga adanya campur tangan pihak berkuasa atau militer dalam kasus tersebut. Namun hingga kini, keadilan untuk Marsinah masih menjadi utopia yang diperjuangkan tanpa kepastian.
Meski begitu, warisan perjuangan Marsinah tidak padam, bahkan terus hidup dalam aksi dan puisi perlawanan kaum buruh. Ia telah diabadikan dalam karya seni, sastra, dan panggung teater sebagai lambang perlawanan terhadap ketimpangan struktural.
Sebagai bentuk pengakuan, Marsinah pernah dianugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien atas jasa dan pengorbanannya di bidang hak asasi manusia. Namun, gelar Pahlawan Nasional masih belum pernah disematkan secara resmi oleh negara.
Kini, harapan baru muncul setelah Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungannya untuk menjadikan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional. Dukungan ini disampaikan langsung dalam peringatan Hari Buruh pada 1 Mei 2025 di hadapan ribuan buruh.
Prabowo meminta para serikat buruh untuk duduk bersama dan menyepakati sosok yang akan diajukan sebagai pahlawan. Jika Marsinah menjadi pilihan bersama, ia menyatakan siap mendukung sepenuhnya usulan tersebut.
Diketahui, Marsinah telah menjadi wajah dari perlawanan kaum pekerja yang tertindas, terutama perempuan buruh yang selama ini kerap terpinggirkan. Ia hadir sebagai inspirasi bahwa perjuangan tidak selalu berakhir dengan kemenangan, tapi tidak pernah sia-sia.
Selama keadilan masih diperjuangkan, nama Marsinah akan terus hidup dalam hati mereka yang melawan ketimpangan. Karena dalam setiap suara buruh yang menuntut haknya, ada gema dari keberanian Marsinah yang tak pernah padam. (*)
KEYWORD :
Marsinah 8 Mei Buruh Pahlawan