
Kuau Raja, burung yang dijuliki Si Seratus Mata dari Hutan Sumatra sedang menari untuk memikat kuau betina (Foto: Florafauna-indonesia/Daerah Kita)
Jakarta, Jurnas.com - Hutan tropis Asia Tenggara menyimpan banyak rahasia, namun salah satu yang paling memesona ialah burung kuau (Argusianus argus), khususnya Kuau Raja (Great Argus) dari hutan Sumatera, Indonesia. Dengan bulu ekornya yang panjang dan dihiasi pola "mata" menyerupai burung merak, kuau raja jantan terkenal sebagai “penari ulung” dalam dunia satwa liar.
Burung ini tak hanya memikat lewat penampilannya yang eksotis, tetapi juga lewat peran ekologis dan sejarah ilmiahnya yang panjang. Dijuluki “Si Seratus Mata,” kuau raja jantan punya tubuh besar, bulu ekor sepanjang satu meter, dan pola bulat-bulat menyerupai mata yang tersebar di sayap dan ekornya.
Mengtuip laman Portal Informasi Indonesia, burung kuau raja jantan bisa tumbuh hingga 200 cm panjangnya—dari kepala hingga ujung ekor—dengan berat badan mencapai 3 hingga 5 kilogram. Betinanya lebih mungil, hanya sekitar 80 cm. Warna bulu cokelat terang dengan bintik keabu-abuan, menjadikannya hampir tak terlihat di lantai hutan—kecuali saat ia "menari".
Ciri khas lain dari jantan adalah dua bulu utama yang sangat panjang dan berfungsi sebagai senjata visual saat musim kawin tiba. Dengan bulu berbentuk kipas raksasa setinggi 140 cm, si jantan akan memamerkan “mata-mata” palsunya dalam aksi teatrikal yang menyaingi burung merak. Uniknya, kipas ini terbuka di bagian tengah tubuh dan hampir menutupi kepala si penampil.
Tarian ini bukan hanya keindahan semata. Ini adalah sinyal biologis kepada betina bahwa ia adalah jantan terbaik untuk meneruskan gen. Tak heran, Carolus Linnaeus memberi nama ilmiah Argusianus argus, mengacu pada tokoh mitologi Yunani bermata seratus, Argus Panoptes.
Pesona kuau raja sudah diakui dunia sejak abad ke-19. Ilustrasi burung ini pernah dimuat dalam buku karya Charles Darwin, The Descent of Man (1874), yang menggambarkan bagaimana seleksi seksual memengaruhi evolusi. Bulu indahnya bahkan menjadi koleksi di Natural History Museum, London.
Di Indonesia, kuau raja ditetapkan sebagai fauna identitas Provinsi Sumatra Barat berdasarkan Kepmendagri No. 48 Tahun 1989. Ia juga sempat menjadi ikon perangko nasional (2009) dan maskot Hari Pers Nasional 2018 di Padang.
Jantan kuau raja dikenal sangat soliter dan bersifat poligini. Ia akan membersihkan lantai hutan dari dedaunan dan ranting sebagai arena pertunjukan. Setiap pagi, ia mengeluarkan suara khas “ku-wau” secara berkala, bisa terdengar hingga ratusan meter jauhnya.
Meski berpenampilan mewah, kuau raja adalah pelari cepat, bukan penerbang ulung. Ia mengandalkan lari dan lompatan antar dahan untuk menghindari ancaman. Dengan penciuman dan pendengaran tajam, burung ini sangat sensitif terhadap kehadiran manusia.
Burung kuau termasuk keluarga Phasianidae—kerabat dekat dari ayam hutan, merak, dan burung pegar. Mereka tersebar di Semenanjung Malaysia, Sumatra, dan sebagian Kalimantan. Namun, karena deforestasi dan perburuan liar, populasi mereka terus menyusut secara signifikan.
Meski seindah merak dan sekharismatik elang, burung kuau kerap luput dari perhatian konservasi. Padahal, status konservasinya menurut IUCN saat ini adalah Near Threatened, dan terus mendekati ambang "Terancam Punah". Pembukaan hutan untuk perkebunan dan tambang telah mempersempit habitat mereka, terutama di wilayah Sumatra dan Malaysia.
Perkembangbiakannya pun lambat. Betina hanya bertelur dua butir setiap kali musim kawin, menjadikannya rentan terhadap kepunahan jika tekanan lingkungan terus meningkat.
Melindungi burung kuau berarti menjaga keseimbangan ekosistem hutan hujan tropis. Spesies ini merupakan indikator kesehatan hutan: jika mereka menghilang, itu pertanda ada yang tidak beres dalam sistem ekologis kita.
Upaya pelestarian bisa dimulai dari kesadaran masyarakat. Mengurangi konsumsi produk yang berasal dari konversi hutan, mendukung wisata alam berkelanjutan, serta menolak perdagangan satwa liar adalah langkah nyata yang bisa dilakukan siapa saja. (*)
KEYWORD :Kuau Raja Burung Seratus Mata Burung Kuau Sumatera