Selasa, 06/05/2025 18:07 WIB

Kelemahan Pengelolaan Infrastruktur Dinilai Akar Masalah Jembatan Mahakam

Penutupan sementara jalur jembatan dan pelayaran ini, menunjukkan bahwa pemerintah terjebak dalam dilema klasik antara keselamatan dan keberlanjutan ekonomi.

Pengamat maritim Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa. Foto: dok. jurnas

JAKARTA, Jurnas.com -  Insiden kapal tongkang bermuatan batu bara menabrak tiang penyangga Jembatan Mahakam, hingga rusak, Senin (28/4/2025), merupakan peringatan keras tentang pentingnya menjaga keselamatan infrastruktur strategis di tengah lalu lintas logistik yang padat.

Kerusakan tersebut memicu penutupan sementara jembatan penghubung wilayah darat di Kalimantan Timur dari 30 April hingga 1 Mei 2025.

Pengamat maritim dari IKAL Strategic Center (ISC), DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.Mar, menilai bahwa insiden ini menyisakan persoalan besar yang tidak hanya menyangkut aspek teknis konstruksi, tetapi juga menyentuh ranah tata kelola, keseimbangan antara keselamatan dan ekonomi, serta efektivitas regulasi lintas sektor.

Jembatan Mahakam bukan hanya penghubung wilayah darat di Kalimantan Timur, tetapi juga berada tepat di atas jalur pelayaran yang vital untuk sektor batu bara dan logistik nasional,” tegas DR. Capt. Marcellus Hakeng, di Jakarta (6/5/2025).

Menurut Hakeng insiden ini tidak bisa hanya dilihat sebagai kecelakaan tunggal yang diselesaikan secara insidental. Sungai Mahakam merupakan jalur logistik utama, tetapi pengelolaannya sangat terfragmentasi. Kementerian PUPR bertanggung jawab atas jembatan, sementara lalu lintas sungai dikelola Kementerian Perhubungan melalui KSOP.

“Struktur ini membuat setiap respons atas insiden menjadi lamban dan rentan salah langkah, karena tidak ada mekanisme komando terpadu untuk penanganan darurat atau mitigasi risiko. Hasilnya, kebijakan yang diambil sering kali tidak menyeluruh, cenderung reaktif, dan tidak mempertimbangkan dampak ekonomi serta sosial secara holistik,” kata Hakeng.

Menurut Hakeng, penutupan sementara jalur jembatan dan pelayaran ini, menunjukkan bahwa pemerintah terjebak dalam dilema klasik antara keselamatan dan keberlanjutan ekonomi.

Jalur pelayaran di bawah Jembatan Mahakam adalah urat nadi distribusi batu bara dan barang lainnya. Ketika jalur ini terganggu, efek domino segera terlihat. Kapal yang harus menunggu di luar pelabuhan terkena beban biaya tinggi, gudang penyimpanan mengalami penumpukan, dan pelabuhan menjadi penuh sesak.

Sayangnya, meskipun Jembatan Mahakam sudah mengalami lebih dari 20 kali insiden tertabrak sejak dibangun, instalasi fender belum menjadi bagian dari sistem perlindungan permanen.

“Saya usul solusi konkret memasang fender di sekitar tiang jembatan. Fender merupakan pelindung elastis dari bahan karet yang mampu menyerap energi benturan kapal, sehingga mencegah kerusakan pada struktur jembatan,” tegas Hakeng.

Hakeng juga menekankan pentingnya koordinasi lintas lembaga yang lebih responsive, termasuk dengan pemerintah daerah.

“Zona pelayaran juga harus ditata ulang agar setiap kapal memiliki jalur aman yang tidak membahayakan struktur jembatan. Sistem peringatan dini atau early warning system juga dapat diterapkan agar kapal yang mengalami masalah teknis dapat diintervensi sebelum memasuki area kritis. Dengan teknologi yang tersedia saat ini, pendekatan semacam ini sangat mungkin dilakukan, dan tidak memerlukan biaya besar bila dibandingkan dengan kerugian akibat kerusakan infrastruktur,” kata Hakeng yang juga KaBid Penataan dan Distribusi Kader Pengurus Pusat Pemuda Katolik ini.

KEYWORD :

Jembatan Mahakam Kapal tongkah Hakeng




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :