Selasa, 06/05/2025 13:08 WIB

Prihatin Tarif AS Ancam Ekonomi, Al Hidayat Samsu: Rakyat Butuh Perlindungan Nyata

Prihatin Tarif AS Ancam Ekonomi, Al Hidayat Samsu: Rakyat Butuh Perlindungan Nyata

Anggota MPR RI dari Kelompok DPD, Al Hidayat Samsu. (Foto: Humas MPR)

Jakarta, Jurnas.com - Anggota MPR RI dari Kelompok DPD, Al Hidayat Samsu, prihatin dengan kebijakan Amerika Serikat (AS) yang telah menaikkan tarif impor untuk produk-produk dari berbagai negara, termasuk Indonesia.

Dikatakannya, kebijakan sepihak itu akan mengancam perekonomian Indonesia. Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan tekanan tarif yang diberlakukan AS, Indonesia semestinya kembali meneguhkan kekuatan sejarah bangsa ini.

"Pada abad ke-16 dan ke-17, bangsa Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap kebebasan perdagangan dan toleransi," ujarnya di Jakarta, Selasa (6/5/2025).

Anggota DPD RI Dapil Sulawesi Selatan ini mengutip pernyataan Sultan Alaudin dari Makassar (Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Yale University Press, 1988 & 1993, dalam Philip Bowring, Nusantaria: Sejarah Asia Tenggara Maritim, Jakarta, KPG, 2022).

Dalam pernyataannya, Sultan Alaudin dengan bijak menegaskan bahwa, "Tuhan menciptakan bumi dan lautan. Bumi Dia bagi-bagikan di antara manusia, dan laut Dia berikan untuk dimiliki bersama. Tidak pernah terdengar bahwa seseorang harus dilarang berlayar di lautan".

"Pernyataan ini mencerminkan prinsip dasar bangsa Indonesia yang tidak hanya memelihara kebebasan dan keberagaman, tetapi juga menjunjung tinggi nilai perdagangan yang adil," katanya.

Namun, lanjutnya, saat ini rakyat Indonesia kembali menghadapi ujian besar dalam bentuk kebijakan tarif yang memberatkan. Pemerintah AS di bawah kebijakan yang dicanangkan oleh Presiden Donald Trump, telah memberlakukan tarif tinggi, yang dapat mencapai hingga 47 persen pada beberapa komoditas Indonesia, termasuk garmen, alas kaki, dan tekstil.

Sekali lagi ditegaskan Al Hidayat, kebijakan tersebut memiliki dampak serius terhadap ekspor Indonesia, dan pada gilirannya, mengancam kehidupan ribuan pekerja Indonesia.

Berharap Kepada Kedaulatan Ekonomi Bangsa

Diungkapkan Al Hidayat, tanggal 14 April 2025 lalu, pemerintah mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk bernegosiasi dengan pihak AS mencari solusi atas tarif tinggi yang diterapkan AS.

Sayangnya, hasil pertemuan itu tidak memberikan kabar menggembirakan bagi rakyat Indonesia. Meskipun ada sedikit harapan bahwa beberapa produk unggulan Indonesia akan dikenakan tarif yang lebih kompetitif, kenyataannya tidak semudah itu.

"Sebagai langkah nyata dalam mendengarkan suara rakyat, seminggu yang lalu, sebelum Hari Buruh Internasional, saya memimpin Rapat Komite III DPD RI untuk mendengarkan langsung keluhan dan harapan dari serikat buruh di seluruh Indonesia. Rapat ini menjadi wadah bagi para pekerja untuk menyuarakan perasaan mereka tentang ancaman PHK massal dan dampak serius dari kebijakan tarif ini. Kita semua tahu bahwa sektor buruh merupakan bagian penting dari fondasi ekonomi Indonesia, dan sudah saatnya suara mereka didengarkan oleh pemerintah," terangnya.

Ditegaskan Al Hidayat, hal tersebut menjadi penting untuk dilakukan sebab, ketegangan ini memiliki dampak langsung yang harus dihadapi oleh rakyat. Yakni, ancaman PHK massal. Menurut data yang dihimpun oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS) pada 2024, diperkirakan sekitar 1,2 juta pekerja Indonesia akan kehilangan pekerjaan mereka akibat dampak tarif tinggi dari AS.

Sektor yang paling terdampak adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT), dengan lebih dari 191.000 pekerja terancam kehilangan mata pencaharian mereka. Selain itu, sektor-sektor lainnya seperti industri makanan dan minuman serta petani yang menyuplai bahan baku juga akan mengalami dampak buruk.

Al Hidayat sangat menyayangkan negosiasi yang dilakukan pemerintah tidak memberikan hasil yang signifikan dalam melindungi industri domestik Indonesia. Negara besar seperti AS seharusnya berperan dalam menciptakan perdagangan yang lebih adil dan saling menguntungkan. Namun kenyataannya, kebijakan mereka justru mendorong ketidakpastian ekonomi yang semakin dalam bagi Indonesia.

Selain itu, sektor informal, yang selama ini menjadi tulang punggung bagi sebagian besar rakyat Indonesia, juga akan merasakan dampak langsung dari kebijakan ini. Pemerintah seharusnya memprioritaskan perlindungan bagi pekerja sektor informal yang juga terancam PHK, selain sektor formal yang lebih terlihat.

"Kini saatnya bagi kita untuk bertanya, ke mana arah kebijakan pemerintah dalam melindungi rakyatnya? Apakah kita akan terus terombang-ambing oleh kebijakan perdagangan negara besar yang sering kali tidak berpihak pada negara berkembang seperti Indonesia?," katanya.

Ditekankan Al Hidayat, bangsa ini tidak bisa hanya berharap pada negosiasi demi negosiasi yang tak kunjung membuahkan hasil yang nyata bagi perekonomian. Di masa depan, Indonesia harus mencari jalan yang lebih berani untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi Indonesia. Jangan biarkan kebijakan luar negeri yang tidak berpihak pada rakyat terus mengancam masa depan bangsa dan negara.

"Mari kita bersama-sama merenungkan kembali semangat kebebasan dan perdagangan yang diwariskan oleh para leluhur kita, serta mengingat kembali komitmen bangsa ini untuk berdiri tegak di tengah dunia yang terus berubah. Perjuangan untuk Indonesia yang lebih kuat dan lebih adil dimulai dari sini," pungkasnya.

KEYWORD :

Kinerja MPR Al Hidayat Samsu Tarif Ekonomi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :