
Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. (Foto: Humas MPR)
Jakarta, Jurnas.com - Wakil Ketua MPR sekaligus Anggota DPR Komisi VIII yang di antaranya membidangi urusan sosial, Hidayat Nur Wahid, mendukung sikap MUI Jawa Barat maupun MUI Pusat yang menolak/mengkritisi wacana yang disampaikan oleh Gubernur Jawa Barat yang mewacanakan kewajiban vasektomi bagi laki-laki miskin sebagai syarat penerimaan Bansos.
Isu tersebut sudah menimbulkan kegaduhan dan memantik polemik dan penolakan bukan hanya dari MUI tapi juga dari para dokter dan aktivis HAM, karena dinilai tidak solutif karena masalah kemiskinan adalah memang kewajiban negara untuk mengatasinya, dan diskriminatif karena hanya berlaku bagi warga miskin sementara warga yang kaya dan punya banyak anak tidak diharuskan vasektomi, karenanya juga dinilai melanggar HAM.
Karenanya HNW sapaan akrabnya menyebut agar Gubernur Jawa Barat segera mengakhiri kegaduhan itu dengan mencabut wacananya, dan fokus mengatasi masalah kemiskinan dan efektifitas bansos, tanpa membuat masalah baru.
Dirinya mengingatkan, Bansos adalah kebijakan nasional sebagai pelaksanaan Konstitusi, karenanya ada aturan yang berlaku pada skala nasional. Dan pemerintah pusat yang berkewenangan terkait Bansos bukanlah Menteri Desa tetapi adalah Menteri Sosial. Dan Menteri Sosial dengan jajarannya tidak pernah menambahkan/membuat syarat tambahan baru untuk menerima bansos yaitu wajib vasektomi (KB bagi laki-laki), sebagaimana diwacanakan oleh Gubernur Jawa Barat itu.
Termasuk Komisi 8 DPR yang merupakan mitra kerja Kementerian Sosial terkait peraturan perundangan dan pengawasan pelaksanaannya, belum pernah mendapat usulan dari Mensos untuk membahas tambahan syarat baru penerima bansos yaitu kewajiban vasektomi.
"Saat ini Pemerintah via Kemensos menyalurkan bansos melalui mekanisme legal antara lain pendataan dan pemeringkatan kesejahteraan warga. Jika memang seseorang memenuhi syarat dan masuk pada pendataan maka yang bersangkutan layak menerima bansos. Tidak ada syarat kewajiban vaksetomi, apalagi juga tidak ada data empiris kaitan vasektomi dengan ketidakmiskinan,” disampaikan Hidayat pada, Senin (5/5).
Hidayat menjelaskan, memang seharusnya Gubernur termasuk Gubernur Jawa Barat ikut mencarikan kebijakan yang efektif mengatasi kemiskinan yang belum berhasil diatasi oleh Pemerintahan yang lalu, tapi hendaknya yang akan menyelesaikan masalah bukan malah mengusulkan ketidakbijakan yang menjadi masalah seperti kewajiban vaksetomi bagi penerima bansos itu.
Lestari Moerdijat: Wujudkan Pendidikan Nasional yang Mampu Mengakselerasi Proses Pembangunan Nasional
Menurut HNW pemberian bansos mestinya tidak dikaitkan dengan kewajiban vasektomi, karena “bansos” itu memang ketentuan konstitusional yang wajib dilaksanakan oleh negara. Apalagi tidak ada fakta vasektomi adalah jaminan jadi tidak miskin, dan banyaknya anak (tidak bervasektomi) identik dengan menjadi miskin. Betapa banyak sekarang ini keluarga muda yang kaya dan tidak menerima bansos, malah orientasinya mempunyai anak banyak.
Kebijakan perlindungan sosial yang berlaku nasional saat ini adalah menyeluruh. Jika satu keluarga miskin, maka orang tuanya mendapatkan bansos, termasuk rutilahu (rumah tinggal layak huni), anaknya dibantu pendidikannya, dan jika sakit bisa berobat gratis.
"Penyempurnaan implementasi kebijakan nasional termasuk aktualisasi pendataan warga yang berhak menerima bansos, serta terobosan-terobosan menciptakan lapangan kerja, inilah yang harusnya serius dilaksanakan dan dikuatkan termasuk oleh Gubernur Jabar, bukan justru membuat wacana baru yang tidak solutif dan malah menambah kegaduhan seperti wacana kewajiban vasektomi yang akan membatasi hak orang tua untuk mempunyai anak," sambungnya.
HNW menambahkan, MUI bahkan telah memberikan fatwa haramnya vaksetomi sesuai ijtima mereka pada tahun 2012, dan itu sudah disampaikan ke publik oleh MUI Jawa Barat maupun MUI Pusat.
Pembatasan reproduksi melalui vaksetomi, menurut MUI, hanya boleh dilakukan untuk kondisi tertentu yang berkaitan dengan kesehatan seseorang, bukan untuk dijadikan sebagai kewajiban umum yang diselenggarakan secara massal dan permanen.
Alasan Gubernur Jawa Barat bahwa vasektomi bisa berlaku sementara juga sudah dibantah dan ditolak oleh MUI, selain karena bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, juga karena rekanalisasi tidak sesederhana yang dibayangkan Gubernur, keberhasilan rekanalisasi tidak bisa dijamin 100 persen, juga biaya rekanalisasi bagi yang terlanjur melakukan vasektomi, tidak murah, sehingga tidak mampu dilakukan oleh warga penerima bansos itu.
Warga Jabar khususnya dan Indonesia umumnya, mayoritas mutlaknya beragama Islam dan mereka menghormati fatwa para Ulama. Maka mestinya Gubernur Jawa Barat dllnya menghormati fatwa para Ulama dan mengajak para Ulama untuk bersama-sama mengatasi masalah kemiskinan yang juga menjadi kepedulian para Ulama, tidak malah mengabaikan para Ulama dan ngotot melempar wacana yang tidak mengatasi masalah malah menambah masalah.
"Kepala Daerah sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat, semestinya juga hanya membuat kebijakan yang mengimplementasikan dan menguatkan pelaksanaan program Pemerintah pusat. Dalam hal ini Presiden Prabowo jelas mempunyai kebijakan nasional “astacita”, seperti asta cita 4 yakni memperkuat pembangunan SDM. Bukan malah melempar wacana yang melemahkan harmoni nasional, dan sikap gotong royong melakukan pembangunan SDM secara nasional, ketika ia malah menambahi masalah yang tidak menjadi solusi bagi Rakyat, apalagi polemik itu malah membuat tidak focus melaksanakan program Astacita yang dipentingkan itu,” pungkasnya.
KEYWORD :Kinerja MPR Hidayat Nur Wahid Vasektomi Bansos Gubernur Jawa Barat