
Ilsutrasi - Mengenal Tradisi Apitan, Warisan Budaya Jawa di Bulan Mulia (Foto: Portal Demak)
Jakarta, Jurnas.com - Memasuki Zulkaidah, bulan kesebelas dalam kalender Hijriah, kebanyakan masyarakat Indonesia, terutama di Pulau Jawa seperti Demak memiliki tradisi Apitan. Tradisi ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan representasi nilai keislaman, kebudayaan, dan filosofi hidup masyarakat di Jawa yang telah diwariskan lintas generasi.
Apitan diselenggarakan setiap bulan Zulkaidah, dalam kalender Islam atau Hijriah, yang dalam penanggalan Jawa dikenal sebagai bulan Apit atau Hapit. Nama ini merujuk pada posisi bulan yang berada “terjepit” di antara dua hari raya besar, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.
Zulkaidah sendiri memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Ia termasuk dalam empat bulan yang dimuliakan (asyhurul hurum), bersama Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 36.
Namun di Jawa, bulan ini tidak hanya dipahami secara religius, tapi juga dimaknai sebagai masa jeda spiritual dan sosial. Dari pemahaman ini, lahirlah tradisi Apitan, yang kini masih lestari di berbagai daerah seperti Demak, Semarang, Grobogan, dan wilayah pantura lainnya.
Dikutip dari Jurnal El-Haraqah berjudul Sedekah Bumi Dusun Cisampih Cilacap, karya Furqon Syarif, Apitan dikenal pula sebagai bentuk sedekah bumi, yakni wujud rasa syukur masyarakat kepada Tuhan atas limpahan hasil panen dan keselamatan selama setahun terakhir. Tradisi ini juga menjadi harapan agar tahun mendatang dipenuhi keberkahan dan terhindar dari bencana.
Rangkaian tradisi Apitan umumnya dimulai dengan ziarah dan pembersihan makam leluhur secara gotong royonh. Bagi masyarakat, menjaga kesucian makam merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap warisan spiritual dan simbol pentingnya kesinambungan antargenerasi.
Setelah itu, masyarakat menggelar ritual Pala Pendem, yakni mengubur hasil bumi seperti ketela, umbi-umbian, atau palawija. Ritual ini mencerminkan kesadaran akan tanah sebagai asal, tempat hidup, dan tujuan akhir manusia.
Prosesi kemudian dilanjutkan dengan tasyakuran dan doa bersama. Warga desa membawa makanan hasil olahan sendiri ke balai desa atau lokasi tertentu, yang kemudian disantap bersama dalam suasana kebersamaan dan syukur.
Mengutip laman Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, tradisi Apitan, khususnya di Demak, juga diperkaya dengan pagelaran seni budaya, seperti wayang kulit, ketoprak, tayub, dan bahkan khataman Al-Qur’an. Di Demak, pertunjukan wayang bukan sekadar hiburan, tapi juga media dakwah, mengikuti jejak Sunan Kalijaga yang menjadikan kesenian sebagai sarana penyebaran Islam.
Masyarakat meyakini bahwa tradisi Apitan berasal dari masa Wali Songo, sebagai bagian dari strategi dakwah yang mengakulturasi ajaran Islam dengan budaya lokal. Pendekatan ini terbukti efektif, sebab mampu menyentuh sisi spiritual masyarakat tanpa merusak akar budayanya.
Tak hanya sarat makna spiritual, Apitan juga kaya akan nilai sosial dan ekologis. Menurut tokoh adat seperti Sudarjo di Demak, Apitan mengandung nilai penghormatan kepada alam, ketauhidan kepada Allah, serta solidaritas sosial antarwarga.
Mengutip skripsi berjudul Nilai-Nilai Pendidikan Islam pada Tradisi Apitan..., karya Puput Setiyaningsih, Apitan bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang bagaimana tradisi bisa menjadi medium pendidikan nilai-nilai kebaikan di masa kini. Di tengah berbagai tantangan zaman, Apitan menjadi bukti bahwa kearifan lokal mampu hidup berdampingan dengan keimanan yang universal.
Dengan tetap dirawatnya tradisi Apitan, masyarakat Jawa menunjukkan bahwa budaya bukan sekadar warisan, melainkan juga jalan untuk memahami kehidupan secara lebih mendalam—dari bumi, untuk manusia, dan menuju Tuhan. (*)
KEYWORD :Tradisi Apitan Bulan Apit Jawa Bulan Zulkaidah