Rabu, 30/04/2025 21:15 WIB

Mengapa Bulan Zulkaidah Disebut Bulan Apit di Jawa? Ini Penjelasannya

Dalam kalender Jawa, Zulkaidah disebut sebagai Dulkangidah, namun masyarakat lebih akrab menyebutnya dengan nama bulan Apit atau Hapit. Mengapa demikian? Jawabannya terletak pada perpaduan antara kalender Islam dan budaya lokal yang kaya akan simbol dan makna

Ilustrasi - Mengapa Bulan Zulkaidah Disebut Bulan Apit di Jawa? Ini Penjelasannya (Foto: Harapan Rakyat)

Jakarta, Jurnas.com - Zulkaidah atau Dzulqa’dah merupakan salah satu bulan dalam kalender Hijriah yang memiliki kedudukan istimewa. Dalam tradisi Islam, bulan ini termasuk ke dalam asyhurul hurum atau empat bulan suci yang dimuliakan, bersama dengan Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Keistimewaan bulan Zulkaidah ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 36 yang menyatakan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, Allah telah menetapkan dua belas bulan, dan empat di antaranya diagungkan. Salah satunya adalah Zulkaidah, bulan yang di dalamnya dianjurkan untuk memperbanyak amal dan menjauhi permusuhan.

Namun di tanah Jawa, bulan Zulkaidah dikenal dengan sebutan berbeda. Dalam kalender Jawa, Zulkaidah disebut sebagai Dulkangidah, namun masyarakat lebih akrab menyebutnya dengan nama bulan Apit atau Hapit. Mengapa demikian? Jawabannya terletak pada perpaduan antara kalender Islam dan budaya lokal yang kaya akan simbol dan makna. Berikut ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.

Nama "Apit" berasal dari bahasa Jawa yang berarti "terjepit" atau "di antara". Penamaan ini bukan tanpa alasan, sebab bulan ini berada di antara dua hari raya besar umat Islam, yakni Idul Fitri di bulan Syawal dan Idul Adha di bulan Dzulhijjah.

Karena letaknya yang berada di antara dua momen sakral itu, masyarakat Jawa memaknainya sebagai masa jeda. Oleh sebab itu, selain disebut Apit, bulan ini juga dikenal dengan nama Selo, yang dalam bahasa Jawa berarti selingan atau istirahat.

Makna transisional ini kemudian berkembang menjadi bagian dari budaya masyarakat Jawa, terutama di wilayah pantai utara Jawa Tengah seperti Semarang, Grobogan, dan Demak. Mereka melestarikan sebuah tradisi yang disebut sebagai Apitan, sebuah perayaan tahunan yang berlangsung di bulan ini.

Mengutip radisi Apitan mencerminkan keselarasan antara nilai religius dan budaya lokal. Kegiatan diawali dengan pembersihan makam leluhur secara bersama-sama, sebagai simbol penghormatan dan penyucian diri menjelang Idul Adha.

Setelah itu, masyarakat menggelar ritual Pala Pendem, yakni mengubur hasil bumi seperti singkong, ketela, atau palawija. Ritual ini merupakan bentuk syukur atas rezeki alam dan doa agar tanah tetap subur.

Puncaknya adalah tasyakuran dan doa bersama yang diikuti oleh seluruh warga. Momen ini tidak hanya menjadi sarana spiritual, tetapi juga mempererat hubungan sosial di tengah masyarakat.

Dengan demikian, bulan Apit bukan sekadar masa tunggu antara dua hari raya, melainkan ruang kontemplasi dan pelestarian warisan leluhur. Ia menjadi bukti bagaimana nilai Islam dapat hidup berdampingan dan menyatu dalam tradisi Jawa yang penuh makna. (*)

KEYWORD :

Bulan Zulkaidah Bulan Apit Kalender Jawa Tradisi Apitan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :