
Ilustrasi - Mengenang 15 Tahun Kerusuhan Koja di Makam Mbah Priok (Foto: Wahan News)
Jakarta, Jurnas.com - Tanggal 14 April 2010 menjadi catatan kelam dalam sejarah sosial Jakarta, saat kawasan makam keramat Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, berubah menjadi tempat kerusuhan atau bentrokan antara warga dan aparat.
Peristiwa atau tragedi yang dikenal sebagai Kerusuhan Koja ini tidak hanya menyisakan korban jiwa dan luka, tetapi juga memperlihatkan kompleksitas antara sengketa lahan, spiritualitas, dan konflik sosial di wilayah itu. Berikut adalah ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.
Habib Hassan Al Haddad atau Mbah Priok, merupakan tokoh yang dikenal sebagai penyebar Islam di kawasan pesisir Jakarta pada abad ke-18. Makamnya yang berada di Jalan Jampea No. 6, Koja, menjadi salah satu destinasi ziarah paling ramai di Jakarta Utara. Masyarakat dari berbagai daerah berdatangan ke sana untuk berdoa, mencari berkah, atau memberi penghormatan.
Namun, pada 14 April 2010, terjadi peristiwa berdarah di sekitar makam kramat Mbah Priok yang dipicu oleh sengketa tanah. Sengketa dimulai dari klaim ahli waris Mbah Priok atas tanah seluas 5,4 hektare, berdasarkan dokumen warisan lama: Eigendom Verponding No. 4341 dan No. 1780. Sementara itu, PT Pelindo II yang mengelola Terminal Peti Kemas Tanjung Priok, mengantongi Hak Pengelolaan Lahan (HPL) No. 01/Koja atas lahan yang jauh lebih luas, mencapai 145,2 hektare.
Pada 5 Juni 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan bahwa lahan tersebut secara sah dimiliki oleh PT Pelindo II. Putusan ini menjadi dasar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan rencana eksekusi terhadap tanah sengketa. Namun masyarakat Koja, khususnya, yang memiliki ikatan spiritual dan emosional dengan makam tersebut, tidak tinggal diam.
Eksekusi yang dilakukan sejak pukul 05.20 WIB pada Rabu pagi itu melibatkan 1.750 anggota Satpol PP dari berbagai wilayah, termasuk Kepulauan Seribu. Namun baru beberapa menit setelah alat berat mulai mengeruk area depan makam, perlawanan warga pecah. Massa yang awalnya kecil, berkembang menjadi kerumunan tak terkendali. Mereka membawa senjata tajam seperti celurit dan parang. Bom molotov pun mulai dilemparkan ke arah petugas.
Kepala Satpol PP Kepulauan Seribu, Hotman Sinambela, mengisahkan bagaimana dirinya harus melarikan diri menyeberangi laut demi menyelamatkan diri. “Saya lompat pagar tinggi tiga kali, lalu kabur naik perahu,” ujarnya, dikutip dari Kompas. Ia menyebut suasana saat itu sangat mencekam. Seorang anggotanya, Tadjudin, tewas dengan kondisi tangan putus.
Menjelang siang, warga menguasai akses jalan ke makam dan ke Terminal Peti Kemas Koja. Aparat pun mulai mundur. Hingga malam, pencarian terhadap anggota Satpol PP yang belum kembali masih terus dilakukan.
Akibat bentrokan tersebut, 3 anggota Satpol PP tewas. Data luka-luka bervariasi, namun tercatat antara 130 hingga 231 orang terluka, termasuk anggota Satpol PP (66–112 orang), anggota Polri (10–26 orang), dan warga sipil (54–90 orang). Beberapa jurnalis, termasuk fotografer, turut menjadi korban kekerasan saat meliput insiden.
Tak hanya korban fisik, kerugian ekonomi pun membengkak. Arus logistik dari dan menuju Pelabuhan Tanjung Priok sempat terhenti, menyebabkan kerugian yang diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah. Kantor di area Terminal Peti Kemas pun mengalami penjarahan.
Situasi ini memicu perubahan struktural di tubuh Pemprov DKI Jakarta. Harianto Badjoeri digantikan oleh Effendi Anas sebagai Kepala Satpol PP DKI Jakarta pada 4 Juni 2010, dua bulan setelah kerusuhan. (*)
KEYWORD :Peristiwa 14 April Peristiwa Sejarah Kerusuhan Koja Mbah Priok