Sabtu, 27/12/2025 11:00 WIB

Akademisi IPB: Topografi dan Tata Guna Lahan Pengganda Risiko Banjir





Pendekatan berbasis alam (nature-based solutions) perlu ditempatkan sebagai bagian dari strategi jangka panjang.

JAKARTA, Jurnas.com - Setiap kali banjir terjadi, pertanyaan yang hampir selalu muncul adalah siapa yang harus disalahkan? Pertanyaan itu terasa sederhana, tetapi jawabannya nyaris tak pernah sesederhana itu. Data iklim justru menunjukkan bahwa banjir adalah hasil dari rangkaian proses yang jauh lebih kompleks, lintas skala, dan saling berkelindan.

Demikian disampaikan Dr. I. Putu Santikayasa, S.Si., M.Sc., dari Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim di Asia Tenggara dan Pasifik - CCROM SEAP IPB University melalui keterangannya, Sabtu (27/12/2025).

Ia menyampaikan, dalam beberapa bulan terakhir 2025, ada dua peristiwa banjir besar yang mencolok, yakni banjir di Bali pada September dan banjir di Sumatera, khususnya Aceh dan Sumatera Utara, pada akhir November.

“Jika dibaca sekilas, keduanya tampak sebagai peristiwa yang berdiri sendiri. Namun ketika didekati melalui kacamata iklim, pola besar justru terlihat jelas.” Kata Putu Santikayasa.

Menurutnya, Indonesia tidak hidup dalam sistem iklim tunggal. Cuaca dan iklim Indonesia dipengaruhi oleh berbagai climate drivers yang bekerja secara simultan, mulai dari skala global hingga lokal.

Di Samudra Pasifik, terdapat ENSO, El Nino, dan La Nina, yang memodulasi curah hujan antar-tahun. Di Samudra Hindia, ada Indian Ocean Dipole (IOD) yang menggeser pusat hujan ke barat atau ke timur. Di atas itu semua, ada Madden-Julian Oscillation (MJO) yang bergerak seperti gelombang uap air raksasa lintas benua. Dan pada skala sinoptik, siklon tropis kerap menjadi pemicu lonjakan hujan ekstrem.

Ia menjelaskan, kasus Bali pada September 2025 memberi gambaran konkret. Data menunjukkan suhu muka laut (SST) di perairan Indonesia berada dalam kondisi hangat. SST yang hangat berarti penguapan meningkat dan suplai uap air melimpah.

Pada saat yang sama, IOD berada pada fase negatif kuat (–1,12), yang menandakan pemanasan di Samudra Hindia bagian timur, tepat di dekat Indonesia. Kombinasi ini memperkuat konveksi dan membuka peluang hujan sangat lebat. ENSO sendiri berada dalam kondisi netral, sehingga tidak menahan maupun memperkuat hujan secara signifikan.

“Hasilnya adalah curah hujan ekstrem, dengan catatan mencapai hampir 390 mm per hari di Kabupaten Badung, angka yang jauh melampaui ambang hujan sangat lebat menurut BMKG,” tuturnya.

Sedangkan peristiwa di Sumatera pada akhir November 2025 menunjukkan pola yang sedikit berbeda, tetapi dengan kesimpulan yang sama. Saat itu, IOD melemah menuju netral, ENSO bergerak ke arah La Niña lemah.

Secara teori, kata Putu Santikayasan, kombinasi ini tidak cukup untuk memicu hujan ekstrem. “Namun, sistem iklim tidak berhenti di situ. Muncul bibit siklon tropis di Selat Malaka yang kemudian berkembang menjadi Siklon Tropis Senyar. Siklon ini bertindak sebagai amplifier, memperkuat proses atmosfer yang sudah ada, dan memicu hujan lebih dari 300 hingga 400 mm per hari di Aceh dan Sumatera Utara,” ujarnya.

 

Bukan Penyebab Tunggal

Menurut Putu Santikayasa, dari dua peristiwa ini, satu pelajaran penting bisa ditarik. yaitu banjir bukanlah produk dari satu penyebab tunggal. Ia adalah hasil interaksi iklim multi-skala. ENSO dan IOD berperan sebagai pengatur utama, MJO mengunci fase hujan, siklon tropis bertindak sebagai pemicu lonjakan, sementara kondisi lokal seperti topografi dan tata guna lahan menjadi pengganda risiko banjir.

“Di titik inilah kita sering keliru. Perdebatan publik kerap berhenti pada permukaan: mencari satu aktor, satu sektor, satu penjelasan. Padahal, data iklim justru mengajarkan bahwa realitasnya jauh lebih rumit,” katanya.

“Curah hujan ekstrem adalah fakta meteorologis. Banjir adalah dampak hidrologis. Sementara besarnya kerusakan sering kali ditentukan oleh kesiapan sistem manusia.” Imbuhnya.

Karena itu, lanjutnya, pendekatan ke depan tidak bisa hanya reaktif. Sistem peringatan dini multiskala yang terintegrasi menjadi kebutuhan mutlak, bukan hanya soal teknologi, tetapi juga kelembagaan, kualitas SDM, dan alur pengambilan keputusan yang cepat.

“Sistem peringatan memberi kita waktu untuk bersiap. Namun waktu saja tidak cukup. Infrastruktur sumber daya air yang adaptif terhadap informasi iklim memberi kita kapasitas untuk bertahan,” katanya.

Di atas semua itu, lanjutnya, pendekatan berbasis alam (nature-based solutions) perlu ditempatkan sebagai bagian dari strategi jangka panjang. Bukan sebagai slogan, melainkan sebagai pilihan rasional untuk mengelola risiko di tengah iklim yang semakin ekstrem.

“Pada akhirnya, banjir mengingatkan kita pada satu hal sederhana: alam bekerja dengan hukumnya sendiri. Tugas kita bukan mencari kambing hitam, melainkan belajar membaca sinyal-sinyalnya dengan lebih jujur, lebih ilmiah, dan lebih rendah hati,” pungkas Putu Santikayasa.

KEYWORD :

Putu Santikayasa Risiko banjir Tata Guna Lahan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :