Sabtu, 27/12/2025 10:20 WIB

Akademisi USU: Banjir Akibat Akumulasi Cara Memperlakukan Tanah





Setiap tindakan terhadap tanah akan selalu memengaruhi tata air di atasnya dan di sekitarnya.

Bencana banjir di Sumatera. Foto: BNPB

JAKARTA, Jurnas.com - Banjir kerap dipahami sebagai peristiwa yang datang tiba-tiba, seolah menjadi kejutan alam yang sulit diantisipasi. Namun dari sudut pandang konservasi tanah dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), banjir sejatinya adalah hasil dari proses panjang.

“Akumulasi dari cara kita memperlakukan tanah, air, dan lanskap selama bertahun-tahun. Air hujan hanya menjadi pemicu terakhir ketika daya dukung sistem hidrologi telah terlampaui,” kata Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP., Dosen Agroteknologi Bidang Konservasi Tanah dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), Universitas Sumatera Utara (USU) melalui keterangannya, Sabtu (27/12/2025).

Dalam ilmu konservasi tanah dan air, ujar Prof. Abdul Rauf, ada satu prinsip mendasar yang sering terlupakan dalam perdebatan publik, yakni setiap tindakan terhadap tanah akan selalu memengaruhi tata air di atasnya dan di sekitarnya.

Tanah bukan sekadar medium tumbuh tanaman, melainkan ruang hidup air, tempat air hujan meresap, tersimpan, mengalir perlahan. Atau sebaliknya, berubah menjadi limpasan permukaan yang berujung banjir. Ketika tanah kehilangan kemampuannya menjalankan fungsi ini, maka risiko hidrologis meningkat, apa pun bentuk tutupan lahannya.

Konservasi tanah dan air pada dasarnya adalah upaya menggunakan setiap bidang lahan sesuai dengan kemampuannya serta memperlakukan tanah dengan cara-cara yang mencegah degradasi.

Tujuannya tidak hanya menjaga tanah tetap produktif, tetapi juga memastikan air hujan dapat dikelola secara efisien, tidak menjadi banjir pada musim hujan dan tetap tersedia cukup air pada musim kemarau.

“Dalam konteks perubahan iklim, ketika hujan ekstrem makin sering terjadi, prinsip ini menjadi semakin relevan,” katanya.

Pada lahan perkebunan, termasuk kelapa sawit, konservasi tanah dan air bukan konsep abstrak. Ia hadir dalam praktik-praktik teknis yang sangat konkret. Budidaya harus didasarkan pada kelas kesesuaian lahan.

Daya serap tanah terhadap air perlu diperbesar agar limpasan permukaan, erosi, dan potensi banjir dapat ditekan. Pada saat yang sama, daya simpan tanah terhadap air harus ditingkatkan agar cadangan air tersedia lebih lama di dalam profil tanah.

 

Fondasi Mitigasi Hidrologis

Teknik-teknik konservasi seperti terasering, penanaman tanaman penutup tanah (cover crop), pengelolaan serasah dan bahan organik, hingga pemanfaatan limbah organik melalui aplikasi lahan (land application), terbukti berperan penting dalam memperbaiki struktur tanah.

Tanah dengan struktur yang baik memiliki pori-pori berguna yang lebih stabil, sehingga mampu meningkatkan infiltrasi dan menahan air lebih lama. “Inilah fondasi mitigasi hidrologis yang sering luput dari sorotan,” tegas Prof. Abdul Rauf.

Menurutnya, salah satu contoh sederhana tetapi berdampak besar adalah pengelolaan piringan pada tanaman kelapa sawit. Piringan yang dibentuk menyerupai cekungan mampu menampung air hujan dalam jumlah signifikan, mencegah hilangnya pupuk akibat erosi, sekaligus meningkatkan cadangan air tanah. Dalam skala hektare, kapasitas tampung ini setara dengan puluhan ribu liter air, jumlah yang sangat berarti ketika hujan turun deras dalam waktu singkat.

Demikian pula dengan rorak atau parit buntu yang dibuat memotong lereng. Pada lahan miring, terutama di gawangan panen yang cenderung padat dan menjadi jalur aliran air, rorak berfungsi sebagai perangkap limpasan. Air hujan yang semula bergerak cepat di permukaan diperlambat, diberi waktu untuk meresap, dan diarahkan agar tidak langsung membebani saluran air dan sungai.

Pengelolaan bahan organik juga memegang peran kunci. Penumpukan tandan kosong kelapa sawit (TKKS), aplikasi kompos, serta distribusi serasah di gawangan mati memperbaiki kandungan bahan organik tanah hingga ke lapisan yang lebih dalam. Tanah yang kaya bahan organik memiliki kapasitas simpan air lebih tinggi dan lebih tahan terhadap pemadatan. Ini bukan hanya soal kesuburan, tetapi juga tentang ketahanan lanskap terhadap hujan ekstrem.

Tantangan yang lebih kompleks muncul pada lahan-lahan khusus, seperti tanah spodosol dan gambut. Spodosol memiliki lapisan padas yang keras dan sangat membatasi pergerakan air dan akar. Di sinilah inovasi seperti sistem tanam lubang besar (big hole system) dan pengaturan drainase berperan penting.

Dengan pengelolaan yang tepat, lahan yang secara alami memiliki keterbatasan pun tetap dapat dikelola secara produktif tanpa meningkatkan risiko hidrologis.

Pada lahan gambut, prinsip kehati-hatian menjadi lebih krusial. Kunci pengelolaan gambut bukan mengeringkan, melainkan mengatur air. Kedalaman muka air harus dipertahankan pada kisaran yang aman agar gambut tidak mengalami pengeringan berlebihan yang bersifat irreversibel. Sekat air, pintu pengatur muka air, serta jaringan drainase yang terencana menjadi instrumen penting untuk menjaga keseimbangan ini.

Konservasi tanah di lahan gambut juga menuntut pendekatan terpadu: tanpa pembakaran, pengolahan tanah minimum, penggunaan amelioran untuk menekan toksisitas asam organik, serta pemupukan yang tidak mempercepat dekomposisi gambut.

“Semua ini menunjukkan bahwa mitigasi banjir tidak bisa dilepaskan dari praktik agronomi yang detail dan disiplin,” ujarnya.

“Saya sering kali mendengar bahwa banjir dipersepsikan semata sebagai akibat dari jenis tanaman atau perubahan tutupan lahan. Pandangan ini terlalu menyederhanakan persoalan,” imbuhnya.

Fakta ilmiahnya, lanjut Prof. Abdul Rauf, banjir adalah hasil interaksi antara curah hujan, sifat tanah, topografi, sistem drainase, dan tata kelola lahan. Dalam hujan ekstrem, semua sistem diuji hingga batasnya. Namun lanskap yang dikelola dengan prinsip konservasi tanah dan air memiliki peluang lebih besar untuk meredam dampak tersebut.

“Karena itu, mitigasi banjir seharusnya tidak berhenti pada retorika atau pencarian kambing hitam. Ia menuntut pendekatan yang realistis, berbasis ilmu pengetahuan, dan berorientasi jangka panjang. Konservasi tanah bukan pekerjaan instan, tetapi investasi ekologis yang hasilnya baru terasa ketika alam diuji,” pungkasnya.

KEYWORD :

Akademisi USU Banjir Sumatera Prof. Abdul Rauf




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :