Ilustrasi ciri-ciri anak kecanduan media sosial (Foto: Pexels/Ron Lach)
Jakarta, Jurnas.com - Pemerintah mewacanakan pembatasan media sosial berbasis usia, pasca Australia mengenalkan peraturan kontroversial ini pada awal Desember lalu.
Menurut pakar IPB University, Dr. Yulina Eva Riany, menilai pembatasan usia bisa menjadi langkah awal yang strategis dalam rangka melindungi anak di ruang digital. Namun, tak kalah penting mesti diiringi dengan penguatan literasi digital.
Menurut Yulina, pembatasan usia memiliki nilai penting sebagai bentuk edukasi awal bagi masyarakat, terutama di Indonesia yang cenderung lebih patuh terhadap aturan yang disertai sanksi dibandingkan imbauan semata.
"Pembatasan media sosial berbasis usia dapat diposisikan sebagai shock therapy awal untuk meningkatkan kesadaran kolektif tentang pentingnya perlindungan anak di ruang digital," ujar Yulina dikutip dari laman resmi IPB University pada Rabu (24/12).
Dia menekankan bahwa kebijakan pembatasan tidak akan efektif jika diterapkan secara tunggal. Penguatan literasi digital, khususnya bagi orang tua, menjadi prasyarat penting agar kebijakan tidak berhenti sebagai aturan administratif.
"Anak-anak memiliki kemampuan adaptasi digital yang sangat cepat, termasuk dalam mencari celah untuk mengakali batasan usia. Karena itu, pembatasan harus diimbangi dengan peningkatan literasi digital orang tua dan sekolah," dia menambahkan.
Dr Yulina menyebut literasi digital memungkinkan orang tua melakukan pendampingan yang efektif. Sementara sekolah berperan membangun kemampuan berpikir kritis, etika digital, dan kesadaran anak terhadap risiko di ruang daring.
Tanpa kesiapan tersebut, kebijakan justru berpotensi menimbulkan kesenjangan antara regulasi dan praktik di lapangan.
Dalam konteks Indonesia, dia menilai risiko terbesar dari pembatasan media sosial tanpa kesiapan ekosistem ialah meningkatnya akses tersembunyi oleh anak. Kondisi ini membuat anak lebih rentan terhadap konten berbahaya, perundungan daring, eksploitasi data pribadi, hingga paparan ideologi ekstrem.
"Jika anak mengakses media sosial secara diam-diam tanpa pendampingan, risikonya justru jauh lebih besar," ujar Yulina.
Pembatasan media sosial juga berpotensi memperlebar kesenjangan digital dan sosial apabila tidak dirancang secara inklusif. Anak dari keluarga dengan literasi digital tinggi cenderung tetap dapat mengakses ruang digital secara aman, sementara anak dari keluarga rentan berisiko kehilangan akses terhadap ruang belajar dan ekspresi diri.
Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya intervensi afirmatif, seperti edukasi publik yang merata, dukungan bagi sekolah, serta pengembangan strategi pembelajaran yang tidak sepenuhnya bergantung pada media digital.
Pembelajaran berbasis praktik, proyek, dan eksperimen dinilai dapat menjadi alternatif untuk mencegah ketertinggalan akses pembelajaran.
Dia juga mengingatkan bahwa pendekatan pembatasan yang terlalu menekankan larangan berpotensi mendorong anak menggunakan akun palsu, atau berpindah ke platform lain yang lebih tertutup dan minim pengawasan.
"Pendekatan yang seimbang antara pembatasan, pendampingan, dan edukasi jauh lebih efektif dibandingkan larangan absolut," kata dia.
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Pembatasan Medsos Literasi Digital Pakar IPB Yulina Eva Riany























