Rabu, 24/12/2025 19:20 WIB

Perbedaan Burnout, Stres, dan Depresi serta Cara Penanganannya





Banyak yang salah mengira bahwa burnout, stres, dan depresi sebagai kondisi yang sama

Ilustrasi pekerja burnout akibat pekerjaan (Foto: Nubelson Fernandes/Unsplash)

Jakarta, Jurnas.com - Akhir tahun bukan sekadar menyambut liburan semata. Bagi pekerja dan mahasiswa, akhir tahun justru tak jarang memunculkan isu kelelahan mental, fisik, dan emosional atau populer dengan istilah burnout.

Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami burnout, mulai dari tekanan target, penutupan buku, hingga evaluasi. Namun, banyak yang salah mengira bahwa burnout, stres, dan depresi sebagai kondisi yang sama.

Tidak. Menurut pakar Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Sumaryono, tidak semua kelelahan psikologis dapat serta-merta disebut burnout. Penting untuk memahami perbedaan antara burnout, stres, dan depresi agar dapat merespons dengan tepat dan proporsional.

Maryono, sapaanya, menjelaskan bahwa burnout, stres, dan depresi merupakan tiga kondisi yang berbeda. Burnout merupakan kondisi yang lebih berat karena mencakup kelelahan fisik, emosional, dan mental secara bersamaan.

"Yang sering terjadi itu sebenarnya stres, bukan burnout. Karena Burnout itu cenderung lebih parah," kata Maryono dikutip dari laman resmi UGM pada Rabu (24/12).

Menjelang akhir tahun, umumnya pekerja memang menghadapi banyak tuntutan seperti tenggat waktu dan target kinerja. Sedangkan mahasiswa menurutnya masih berada pada beban akademik yang relatif normal sehingga lebih tepat disebut mengalami stres.

Lebih lanjut, dia menyoroti adanya kebiasaan penggunaan istilah burnout yang kurang tepat, khususnya di kalangan anak muda. Sumaryono menyebut bahwa sedikit tekanan yang dialami dianggap sebagai burnout. Secara psikologis, kata Maryono, burnout ditandai oleh rasa tidak berdaya yang dalam.

"Kalau sakit kepala atau pusing, itu tergolong stres. Burnout itu betul-betul merasa tidak mampu dan kelelahan berat untuk melakukan suatu aktivitas dan aktivitas-aktivitas lainnya," dia menambahkan.

Adapun depresi, lanjut Maryono, sudah masuk ke ranah klinis dan membutuhkan penanganan profesional yang lebih serius. Terkait generasi milenial dan generasi Z, Sumaryono tidak sepenuhnya sepakat bahwa generasi ini lebih rentan mengalami burnout jika dibanding generasi sebelumnya.

Dia menyebut bahwa perbedaan lebih terletak pada resiliensi terhadap tekanan. Pengalaman yang belum banyak membuat daya tahan mereka terhadap tekanan besar masih memerlukan adaptasi.

Meski demikian, dia menegaskan bahwa tidak berarti generasi sebelumnya tidak mengalami tekanan, hanya bentuk dan konteksnya yang berbeda.

"Perbedaan generasi itu soal pengalaman menghadapi tekanan dan bagaimana mereka belajar untuk coping (mengatasi stres)," kata dia.

Dalam dunia kerja dan akademik, ekspektasi karier dan produktivitas sangat dipengaruhi oleh persepsi individu. Maryono mencontohkan bahwa stres dapat berubah menjadi proses adaptif ketika seseorang menemukan makna dari pekerjaannya.

Dia menekankan pentingnya peran mentor, baik Dosen Pembimbing Akademik maupun atasan di tempat kerja, untuk mendampingi anak muda melalui metode coaching.

"Komunikasi yang terbuka ini dinilai menjadi kunci agar tekanan tidak berkembang menjadi stres arah dan berpotensi menjadi burnout," ujar Maryono.

Maryono juga membagikan strategi realistis untuk mencegah burnout, khususnya di akhir tahun, melalui metode CHANGE. Metode ini mencakup Challenge yang melihat hidup sebagai tantangan, Hope untuk tetap menjaga adanya harapan, Adaptation atau prinsip mengelola stres dan menetapkan prioritas, Network yang membangun jejaring untuk meminta pandangan dari mentor, hingga seseorang dan mencapai fase Growth dan Excellence.

Dia memandang stres tidak boleh diremehkan, tetapi juga tidak perlu diperbesar. Dengan pemahaman yang tepat, stres justru dapat menjadi energi pendorong untuk tetap mencapai produktivitas.

KEYWORD :

Perbedaan Burnout dan Stres Penyebab Depresi Pakar UGM Psikolog Sumaryono




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :