Ilustrasi sedang merasa bersalah (Foto: Pexels: ANTONI SHKRABA production)
Jakarta, Jurnas.com - Rasa bersalah (guilt) dan rasa malu (shame) kerap muncul setelah seseorang melakukan kesalahan moral, tetapi keduanya mendorong respons yang berbeda. Sebuah studi terbaru yang diterbitkan di jurnal eLife menunjukkan bahwa perbedaan itu bukan sekadar psikologis, melainkan juga tercermin jelas di otak dan memengaruhi keputusan untuk memperbaiki kesalahan.
Selama ini, psikolog memandang guilt berfokus pada tindakan dan dampaknya bagi orang lain, sementara shame lebih terkait citra diri dan ketakutan akan penilaian sosial. Penelitian ini memperkuat pandangan tersebut dengan menunjukkan bahwa guilt lebih sensitif terhadap besarnya kerugian yang ditimbulkan, sedangkan shame lebih dipicu oleh seberapa besar tanggung jawab pribadi dan apakah kesalahan itu terlihat publik.
Penelitian dipimpin Ruida Zhu dari Sun Yat-sen University, China, yang menilai bahwa pemicu kognitif kedua emosi ini masih belum sepenuhnya dipahami. Untuk itu, tim merancang eksperimen keputusan moral berbasis kelompok yang memungkinkan peneliti memisahkan dampak tingkat kerugian dan tanggung jawab personal.
“Berbagai penelitian telah mendokumentasikan proses psikologis dan aktivitas saraf yang terkait dengan pengalaman rasa bersalah dan rasa malu,” kata penulis utama Ruida Zhu, dosen madya di Departemen Psikologi Sun Yat-sen University, China.
“Namun, pemicu kognitif, atau faktor yang mendahului munculnya emosi-emosi tersebut, serta mekanisme saraf di baliknya masih belum jelas.”
Dalam eksperimen tersebut, peserta mengira mereka terlibat dalam tugas kelompok yang kesalahannya dapat menyebabkan sengatan listrik pada seorang “korban,” dengan tingkat sengatan mewakili besarnya kerugian. Setelah setiap kejadian, peserta diminta memutuskan berapa banyak uang kompensasi yang akan diberikan, sambil aktivitas otaknya dipantau menggunakan pemindaian fMRI.
Hasilnya menunjukkan pola yang konsisten. Semakin besar kerugian yang ditimbulkan, semakin kuat rasa bersalah yang muncul, sementara rasa malu meningkat terutama ketika tanggung jawab pribadi lebih besar. Menariknya, guilt terbukti lebih efektif mendorong keputusan memberi kompensasi, bahkan ketika intensitas guilt dan shame dirasakan setara.
Pemodelan komputasional mengungkap bahwa orang cenderung “membagi” tanggung jawab dalam konteks kelompok. Ketika kesalahan ditanggung bersama, beban tanggung jawab pribadi terasa lebih ringan, sehingga kompensasi yang diberikan pun menurun, sebuah fenomena yang dikenal sebagai difusi tanggung jawab.
Pemindaian otak menunjukkan jalur yang berbeda untuk kedua emosi tersebut. Keputusan yang dipicu guilt lebih banyak melibatkan area otak terkait empati dan penilaian nilai, sedangkan keputusan berbasis shame lebih mengaktifkan korteks prefrontal lateral yang berperan dalam kontrol diri dan strategi sosial.
Penulis senior Chao Liu dari Beijing Normal University menilai temuan ini mendukung teori fungsional emosi. Menurutnya, guilt berfungsi sebagai pendorong perbaikan dan kerja sama sosial, sementara shame berperan menjaga reputasi dan citra diri dalam kelompok.
Meski memiliki keterbatasan, seperti ketergantungan pada laporan emosi setelah tugas selesai, studi ini memberi gambaran baru tentang bagaimana manusia membuat keputusan moral. Temuan tersebut juga membuka peluang untuk memahami dan menangani gangguan kesehatan mental yang berkaitan dengan rasa bersalah dan malu, serta menjelaskan dinamika kerja sama dan konflik dalam kehidupan sosial sehari-hari. (*)
Sumber: Earth
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Rasa bersalah Rasa malu Kepuusan Manusia keputusan moral psikologi emosi
























