Ilustrasi nyamuk menggigit kulit manusia (Foto: Polres Jogja)
Jakarta, Jurnas.com - Nyamuk pembawa malaria ternyata tidak terbang secara acak saat mencari mangsa. Studi terbaru menunjukkan serangga ini mampu mengunci bau tubuh manusia dan mengikutinya dengan presisi tinggi hingga menemukan celah untuk menyerang.
Temuan ini berasal dari eksperimen lapangan di Zambia yang menggunakan kandang terbang luar ruangan berukuran besar. Dalam pengujian tersebut, bau manusia terbukti menjadi penunjuk arah utama bagi nyamuk, jauh melampaui peran panas tubuh semata.
Penelitian dipimpin oleh Conor J. McMeniman dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, yang meneliti bagaimana indera nyamuk memandu perilaku mencari inang. Ratusan nyamuk betina diuji pada malam hari menggunakan bantalan pendaratan hangat dan aliran udara terkontrol.
Kenapa Tubuh Manusia Butuh Sinar Matahari?
Hasilnya menunjukkan bahwa aroma tubuh manusia secara konsisten mengalahkan karbon dioksida sebagai pemikat. Bahkan, nyamuk berulang kali memilih bau orang yang sama dari malam ke malam, menandakan risiko gigitan yang stabil pada individu tertentu.
Panas tetap berperan, tetapi hanya ketika bau sudah membawa nyamuk cukup dekat ke target. Pada tahap akhir inilah perbedaan suhu membantu nyamuk memastikan pendaratan di permukaan yang menyerupai kulit manusia.
Alasan Nyamuk Suka Gigit Kulit Manusia
Salah satu titik balik penting terlihat ketika karbon dioksida ditambahkan ke target hangat. Pada kadar sekitar 400 bagian per juta, pendaratan nyamuk berubah dari jarang menjadi rutin, meski tetap kalah efektif dibanding bau tubuh utuh.
Temuan ini memperkuat riset sebelumnya yang menyebut karbon dioksida hanya berfungsi sebagai sinyal awal. Bau tubuh tetap menjadi panduan utama jarak jauh, sementara penglihatan dan panas bekerja sebagai pelengkap di tahap akhir.
Aroma yang dimaksud terdiri dari senyawa organik volatil yang menguap dari kulit dan napas. Senyawa ini membawa informasi kimia yang dapat dilacak nyamuk melalui udara dalam waktu singkat.
Penelitian terdahulu mengaitkan daya tarik nyamuk dengan kombinasi asam laktat, amonia, dan asam lemak rantai pendek. Respons nyamuk jauh lebih kuat terhadap campuran senyawa tersebut dibanding satu zat tunggal.
Dalam uji perbandingan enam relawan, orang yang paling sering dipilih nyamuk menghasilkan kadar asam karboksilat lebih tinggi. Sebaliknya, individu yang paling jarang digigit justru mengeluarkan lebih banyak eukaliptol, senyawa yang terkait dengan pola makan tertentu.
Eksperimen dilakukan pada jam aktif berburu nyamuk, dengan target dijaga pada suhu mendekati kulit manusia. Pendekatan ini memastikan bahwa bau, bukan panas, menjadi faktor penentu utama perilaku nyamuk.
Analisis bau dilakukan menggunakan teknik volatilomik, yang memetakan keseluruhan campuran molekul udara dari tubuh manusia. Metode ini memungkinkan peneliti menghubungkan perilaku nyamuk dengan sidik kimia tubuh secara lebih realistis.
Pemahaman ini membuka peluang baru dalam pengendalian malaria. Salah satunya adalah merancang umpan berbasis bau paling menarik untuk mengalihkan nyamuk dari manusia ke perangkap.
Pendekatan lain adalah mengubah profil bau manusia agar lebih sulit dilacak, meski peneliti mengingatkan bahwa tidak ada solusi instan. Daya tarik nyamuk ditentukan oleh keseluruhan campuran aroma, bukan satu senyawa saja.
Dengan memanfaatkan informasi ini, strategi kesehatan masyarakat dapat disusun lebih presisi, mulai dari perangkap berbasis bau hingga perlindungan personal yang lebih efektif. Upaya tersebut penting untuk menekan penularan malaria yang sebagian besar terjadi pada malam hari. (*)
Studi ini dipublikasikan dalam jurnal Current Biology. Sumber: Earth
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Studi nyamuk Bau Manusia Gigitan nyamuk Tubuh Manusia



























