Ahmad Athoillah Haramain (Foto: Ist)
Oleh: H. Ahmad Athoillah Haromain
Pengasuh Asrama Sunan Ampel Putra, PP Mamba’ul Ma’arif, Denanyar, Jombang
Senin, 15 Desember 2025, viral tulisan opini dari Wasekjend PBNU (2022-2027) dan Wakil Sekretaris PWNU Jawa Timur (2007-2018), H. Nur Hidayat, berjudul “Polemik Rapat Pleno PBNU: Menjunjung Konstitusi, Menguji Konsistensi KH. Ma’ruf Amin”. Opini itu dimuat di beberapa media dan tersebar di beberapa platform media sosial.
Dalam opini tertulis tersebut, Dayat, H Nur Hidayat biasa dikenal mengungkap bahwa pernyataan KH Ma’ruf Amin ‘Rapat Pleno PBNU (9/12/2025) tidak konstitusional, dan karena itu produk turunannya juga bermasalah’ dia nilai kontradiktif dengan preseden pengunduran diri beliau pada 2018. Lalu, Dayat juga mengaitkan kontradiksi itu dengan argumen KH Makruf Amin ‘menjunjung tinggi konstitusi’ sebagai bukti bahwa beliau berstatus tidak lulus uji konsistensi.
Kemudian dengan yakin, Dayat mengungkap 5 lima masalah dan kontradiksi dari pernyataan KH Makruf Amin itu, di mana kontradiksi kelima mengutip pernyataan KH Makruf Amin ‘Pemberhentian Ketua Umum PBNU yang terjadi saat ini adalah kasus pertama dalam sejarah NU’. Dayat menilai penyataan itu, kontradiktif dengan fakta sejarah.
“Faktanya, Rais Aam PBNU KH. Bisri Syansuri (kakek dari KH. Abdussalam Shohib, sang pengusung gagasan MLB) pernah memecat Subhan ZE dari jabatan Ketua PBNU lewat surat N.004/Syuriyah/c/1972,” kata Dayat.
Nah, pada konteks ini, saya sebagai dzurriyah Mbah KH. Bishri Syansuri merasakan bahwa Dayat telah menebar fallacy of thinking (sesat pikir), logical fallacy (sesat paham) dan fallacy of historical intentionality (memaksa suatu peristiwa memiliki maksud tertentu demi meneguhkan framing ideologis yang dibangun sebelumnya).
Nur Hidayat menyuguhkan kedunguan berpikir dan berfiqh sekaligus dengan menyamakan kejadian KH Miftachul Akhyar memecat Gus Yahya dari jabatan Ketum PBNU dengan peristiwa pemecatan Subhan ZE oleh Rais Aam PBNU KH Bishri Syansuri sekaligus pendiri NU. Padahal, fakta, konteks dan akibatnya sangat berbeda, namun tetap dibangun narasi dengan mensejajarkan KH Miftachul Akhyar dan Mbah KH Bishri Syansuri pada jabatan Rais Aam.
Fakta dari peristiwa Subhan ZE, bahwa beliau dipecat bukan dalam kapasitas jabatan sebagai mandataris muktamar (ketua umum PBNU). Sebelum dipecat, Mbah Bishri Syansuri telah memanggil Subhan ZE, sudah bertemu dan mengkonfirmasinya secara mendalam. Sehingga, keputusan, alasan pemecatan diakui dan akibatnya bagi “marwah jam’iyyah” bisa diterima oleh Subhan ZE. Tidak ada kaitan dan perdebatan tentang hukum organisasi, apalagi berbantah-bantahan tentang keputusan itu.
Setelah pemecatan Subhan ZE, ada beberapa pengurus PWNU yang sowan Mbah Bishri Syansuri, dan meminta penjelasan. Beliau menemui mereka dan dawuh “Kalau saya sampaikan alasannya, apakah kalian bisa memberi solusi ?” Pengurus PWNU yang sowan menjawab, “Belum tentu”. Selanjutnya, Mbah KH Bishri Syansuri dawuh, “Kalau begitu, saya tidak akan menyampaikan alasannya, karena akan ghibah kepada saudara Subhan ZE.”
Dari narasi singkat peristiwa Subhan ZE, tidak ada hal-hal subhat yang dilakukan Mbah KH Bishri Syansuri. AD-ART dipedomani dengan kuat dan tidak mengangkanginya, jiwa mendidik dan membimbing dikedepankan, terbuka untuk dialog dan tidak sepihak, serta berpegang pada landasan fiqh yang jelas dan shorih. Dan, karenanya KH Bishri Syansuri dikenal sebagai pecinta fiqh sepanjang hayat.
Pada titik ini jelas, cara sosok Mbah Bishri Syansuri, Rais Aam, pendiri NU, terutama dalam menghadapi masalah, mengambil keputusan dan bertanggung jawab terhadap keputusannya. Maka, Dayat terlalu sembrono mengkonotasikan Mbah Bishri Syansuri pada jabatan Rais Aam memecat Subhan ZE, dengan KH Miftachul Akhyar, Rais Aam sekarang dalam memecat Gus Yahya dari jabatan Ketua Umum PBNU.
Keangkuhan akademik saudara Dayat dan superioritasnya dalam ber-NU terlihat dalam kalimat yang dia tulis. Menyamakan KH Miftah dengan Mbah Bishri Syansuri walau dalam konteks tindakan organisasi pada jabatan yang sama, tapi pada peristiwa yang berbeda. Disadari atau tidak, hal itu jelas nyata sebagai upaya merendahkan (mendowngrade) kapasitas Mbah Bishri Syansuri pada satu sisi, di sisi lain menaikkan derajat Kiai Miftah yang sama sekali tidak layak, disepadankan dengan Mbah Bishri.
Hal yang sama juga terbaca ketika Dayat menyebut sinis Gus Salam pada kalimat penegas dalam kurung. “KH Bishri Syansuri (kakek dari KH. Abdussalam Shohib, sang pengusung gagasan MLB)”. Kalimat “sang pengusung gagasan MLB” mencerminkan cara pandang sinis Dayat kepada KH Abdussalam Shohib (Gus Salam), padahal MLB adalah mekanisme konstitusional didalam NU. Apalagi jauh sebelumnya, KH Miftah meminta mekanisme MLB dievaluasi karena bisa melahirkan para ‘bughot’ organisasi.
Karenanya, opini tertulis Nur Hidayat untuk menggambarkan kontradiksi kelima pada siniar KH Makruf Amin tersebut, nyata-nyata merendahkan demi melegitimasi keputusan Kiai Miftah yang konyol. Dan, hal itupun menyinggung perasaan keluarga besar (dzurriyah) Mbah KH Bishri Syansuri, salah satu pendiri NU, baik dzurriyah bin nasab, dzurriyah bi sababil ilmi, maupun dzurriyah bi sababil mahabbah.
Saya berharap, saudara Nur Hidayat mau bertobat dalam berjam’iyyah, menghilangkan kebiasaan ‘dungu berpikir’, dan ‘tolol bertindak’. Saya menyadari, dia adalah circle terdekat dari KH Miftachul Akhyar, saudara Saefullah Yusuf (Gus Ipul), dan Prof. M. Nuh. Dengan begitu, dorongan nafsu berkuasa tercermin dari sikap ‘superioritas’nya dalam berorganisasi. Terhadap sikap dan tindakannya, saya akan memaafkan bila dia meminta maaf secara tulus. Wassalam
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Polemik PBNU Ahmad Athoillah Haramain Nur Hidayat

























