Gunung Padang di Cianjur Jawa Barat (Foto: Pemprov Jabar)
Jakarta, Jurnas.com - Belakangan ini, situs Gunung Padang di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, kembali menjadi perhatian publik. Terlebih setelah peresmian dimulainya rekonstruksi situs tersebut oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi pada Senin (15/12/2025). Peresmian itu menandai komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam melestarikan salah satu cagar budaya terpenting di Indonesia.
Gunung Padang berlokasi di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, pada ketinggian sekitar 885 meter di atas permukaan laut. Meski menyandang nama “gunung”, secara geografis kawasan ini memiliki puncak relatif rendah.
Popularitas Gunung Padang tidak hanya ditopang oleh lanskapnya yang unik, tetapi juga oleh keberadaan ribuan balok batu andesit yang tersusun dalam struktur punden berundak. Situs ini kerap disebut sebagai peninggalan megalitikum terbesar di Asia Tenggara, bahkan oleh sebagian kalangan diperkirakan lebih tua dari Piramida Agung Giza di Giza, tepi barat Sungai Nil, Mesir, meski klaim tersebut masih menjadi perdebatan ilmiah.
Di balik ketenarannya, asal-usul nama “Gunung Padang” turut menyimpan beragam penafsiran. Lantas, mengapa dinamakan Gunung Padang? Bagaimana asal usul penamaannya? Berikut adalah ulasannya yang dirangkum dari berbagai sumber.
Terdapat beberapa versi mengenai penamaan Gunung Padang. Versi pertama merujuk pada bahasa Sunda, di mana kata padang berarti terang, terbuka, atau lapang. Penafsiran ini dianggap selaras dengan kondisi situs yang berada di puncak bukit terbuka dan lebih cerah dibandingkan kawasan sekitarnya yang berhutan lebat. Dalam tradisi Sunda kuno, makna terang juga sering dikaitkan dengan simbol pencerahan batin.
Versi kedua berkembang dari penafsiran spiritual, yang menyebut “Padang” sebagai akronim dari kata Pa (tempat), Da (agung atau besar), dan Hyang (leluhur atau roh suci). Gabungan makna tersebut dimaknai sebagai “Tempat Agung Para Leluhur”, sejalan dengan keyakinan lokal bahwa Gunung Padang merupakan ruang sakral untuk ritual dan pemujaan.
Penafsiran lain mengaitkan nama Gunung Padang dengan orientasi situs yang menghadap ke arah Gunung Gede. Dalam sistem kepercayaan Sunda, Gunung Gede diyakini sebagai pusat energi spiritual, sehingga arah hadap situs dianggap memiliki makna kosmologis tersendiri.
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi turut menyampaikan makna filosofis di balik nama situs tersebut. Ia menyebut bahwa "Gunung" merepresentasikan puncak tertinggi dari sebuah peradaban, sementara "Padang" melambangkan keluasan alam atau alam yang luas. Menurutnya, Gunung Padang merupakan bukti bahwa leluhur Nusantara telah membangun ruang untuk memahami alam secara luas.
Secara geologis, Gunung Padang merupakan bagian dari sisa gunung api purba Karyamukti yang telah lama mati. Aktivitas vulkanik masa lalu menghasilkan lava yang membeku menjadi kolom-kolom batu andesit, yang kemudian disusun manusia purba menjadi struktur punden berundak.
Catatan tertulis tentang Gunung Padang pertama kali muncul pada 1891 melalui laporan ahli geologi Belanda R.D.M. Verbeek, yang kemudian diulas kembali oleh arkeolog N.J. Krom pada 1914. Namun perhatian serius dari peneliti Indonesia baru muncul pada 1979 setelah laporan warga setempat ditindaklanjuti oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Pada 1984, arkeolog Junus Satrio Atmodjo mendokumentasikan lima teras batu berundak dan menegaskan bahwa situs tersebut bukan makam, melainkan tempat ritual kuno. Rencana pemugaran sempat disusun pada 1987, namun terhenti akibat perubahan kelembagaan.
Narasi Gunung Padang kembali mencuat pada 2011 setelah klaim kontroversial mengenai piramida tertua dunia, yang kemudian memicu perdebatan dan riset lanjutan hingga 2014. Kini, pemerintah kembali menggulirkan penelitian baru yang dijadwalkan mulai Agustus 2025.
Sebelumnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan penelitian tersebut akan melibatkan lebih dari 100 peneliti lintas disiplin serta masyarakat lokal. Hingga kini, usia Situs Gunung Padang masih diperdebatkan, dengan estimasi arkeolog berkisar antara 500–2000 tahun sebelum Masehi, sementara kajian geologi membuka kemungkinan usia yang lebih tua.
Sementara itu, KDM, sapaan akrab Dedi Mulyadi, menyatakan harapannya agar proses rekonstruksi Gunung Padang dapat berjalan lancar, aman, dan bertanggung jawab. Ia menegaskan bahwa pelestarian situs bersejarah bukan sekadar wacana, melainkan kewajiban negara.
Menurut KDM, rekonstruksi Gunung Padang merupakan perwujudan nyata dari mimpi panjang untuk menjaga warisan leluhur. Ia menilai, upaya pelestarian tidak boleh berhenti sebagai narasi yang terus diulang setiap pergantian kepemimpinan tanpa realisasi yang jelas. (*)
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Gunung Padang Jawa Barat Dedi Mulyadi



























