Kapolri Jenderal Listyo Sigiti Prabowo. (Foto: Jurnas/Ist0.
Jakarta, Jurnas.com - Polemik terbitnya Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tertanggal 9 Desember 2025 terus bergulir di ruang publik. Regulasi yang diteken Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu menuai kritik keras dari sejumlah kalangan, bahkan dituding sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan Presiden Prabowo Subianto. Namun, pandangan tersebut dinilai tidak berdasar.
Pengamat intelijen dan geopolitik Amir Hamzah menegaskan, berdasarkan informasi yang ia peroleh, penerbitan Perpol tersebut tidak dilakukan secara sepihak. Menurutnya, Kapolri telah berkonsultasi dengan DPR serta melaporkan secara resmi kepada Presiden Prabowo sebelum regulasi itu diberlakukan.
“Informasi yang saya dapatkan, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu sudah melalui konsultasi dengan DPR dan dilaporkan ke Presiden. Jadi sangat keliru jika disebut sebagai bentuk perlawanan Kapolri terhadap Presiden Prabowo,” ujar Amir kepada wartawan, Sabtu (13/12).
Amir juga membantah keras anggapan bahwa Perpol tersebut melanggar konstitusi atau menabrak putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menilai tuduhan tersebut lebih banyak didorong oleh narasi politis ketimbang analisis hukum yang utuh.
Menurutnya, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 tidak bertentangan dengan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Putusan MK tersebut, kata Amir, harus dibaca secara kontekstual dan sistematis, bukan dipotong secara parsial.
Komisi III Minta Polri Wajib Patuhi Putusan MK
“Putusan MK mengatur prinsip-prinsip dasar profesionalisme dan netralitas Polri. Perpol ini justru hadir sebagai instrumen teknis internal untuk memastikan penugasan anggota Polri tetap berada dalam koridor hukum dan pengawasan negara,” jelasnya.
Ia menambahkan, dalam praktik ketatanegaraan modern, regulasi internal lembaga penegak hukum merupakan hal yang lazim, selama tidak mengubah norma undang-undang dan tidak menabrak prinsip konstitusional.
Amir menilai, framing yang menyebut Perpol ini sebagai “pembangkangan Kapolri” terhadap Presiden Prabowo merupakan narasi yang dipaksakan dan berpotensi menyesatkan publik. Ia menekankan bahwa dalam sistem presidensial, Kapolri tidak berada di luar kendali Presiden.
“Kapolri adalah pembantu Presiden di bidang keamanan. Secara struktural dan politik, mustahil Kapolri mengeluarkan kebijakan strategis tanpa sepengetahuan Presiden,” kata Amir.
Ia bahkan menilai isu ini sengaja digulirkan untuk menciptakan kesan adanya retak hubungan antara Presiden dan Kapolri, sesuatu yang menurutnya tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Polemik Perpol Nomor 10 Tahun 2025 sejatinya mencerminkan kontestasi tafsir hukum dan politik yang lebih luas. Di satu sisi, ada kekhawatiran publik terhadap potensi kembalinya dwifungsi aparat keamanan. Di sisi lain, negara membutuhkan fleksibilitas administratif untuk mengelola sumber daya aparat secara efektif.
Dalam konteks ini, Perpol menjadi titik temu sekaligus titik benturan. Kritik yang muncul sebagian berangkat dari trauma sejarah dan kehati-hatian terhadap kekuasaan aparat. Namun, tanpa membaca secara utuh substansi dan mekanisme pengawasannya, kritik tersebut berisiko berubah menjadi opini normatif yang tidak berbasis fakta hukum.
Amir Hamzah mengingatkan publik agar tidak terjebak pada narasi emosional dan politis semata. Ia mendorong diskursus publik tetap berpijak pada data, mekanisme konstitusional, dan prinsip checks and balances.
“Kritik itu penting dalam demokrasi, tapi kritik harus adil dan berbasis fakta. Jangan sampai kita merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara hanya karena salah membaca konteks,” pungkasnya.
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Perpol Kapolri putusan MK pembangkangan konstitusi Listyo Sigit Prabowo


























