BKSDA Aceh menurunkan 4 (empat) ekor gajah terlatih beserta tim pendukungnya untuk membantu mempercepat penanganan dan pemulihan pasca dampak banjir di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh (Foto: Kemenhut)
Jakarta, Jurnas.com - Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. drh. Raden Wisnu Nurcahyo, prihatin dengan pelibatan empat gajah Sumatra dalam proses pembersihan sisa-sisa bencana di Pidie Jaya, Aceh.
Kendati keempat gajah di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh itu terlatih, kehadiran mereka menjadi ironi ketika bencana ekologis yang turut merusak habitat gajah, justru membuat satwa ini dilibatkan untuk membersihkan sisa-sisa kerusakan lingkungan.
Selain itu, pengerahan empat gajah Sumatra dalam membantu membersihkan puing-puing pasca bencana beresiko besar terhadap kesehatan dan kesejahteraan satwa tersebut.
Kondisi lapangan yang dipenuhi oleh kayu, puing-puing bangunan, material tajam berkarat, hingga hewan yang mati membusuk dapat membawa penyakit-penyakit menular pada gajah.
"Jadi, sebetulnya gajah-gajah yang dikerahkan membersihkan puing pasca bencana itu sebenarnya menyalahi hak kesejahteraan hewan. Karena apa? Di sini kan gajah seperti dipekerjakan," kata Prof. Wisnu dikutip dari laman UGM pada Sabtu (13/12).
Pengerahan keempat gajah pada lokasi bencana tersebut juga melanggar lima prinsip kebebasan (Five Freedoms) dalam animal welfare yang seharusnya dipenuhi. Di antaranya satwa harus bebas dari lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan, bebas dari rasa sakit, cidera, dan penyakit, bebas mengekspresikan perilaku normal, dan terakhir bebas dari rasa takut dan tertekan.
Menurut dia, pengerahan gajah hanya dapat dibenarkan pada situasi sangat darurat ketika alat berat tidak tersedia atau tidak dapat menjangkau lokasi.
"Penggunaan gajah itu hanya bisa diterima kalau memang eskavator tidak ada atau tidak bisa dijangkau. Tapi ini gajahnya justru diturunkan dari truk. Kenapa truknya tidak membawa eskavator saja? Kok malah menyuruh gajahnya? Jadi kesannya memang tidak urgen," ujar dia.
Selain risiko cedera fisik, gajah yang dipaksa bekerja di lingkungan ekstrem juga rentan mengalami stres. Dia menuturkan, gajah yang lelah cenderung menolak perintah pawang dan dapat berontak karena ingin kembali ke situasi yang lebih aman, seperti berada di kubangan, dekat sumber air, maupun dekat dengan sumber pakan.
"Aktivitas mereka umumnya terbatas pada makan, istirahat, atau patroli sesekali. Karena itu, menempatkan mereka pada kondisi ekstrem pasca bencana berisiko tinggi baik bagi kesehatan maupun keselamatan mereka," kata Prof. Wisnu.
Apabila stres pada gajah tidak tertangani dengan baik, lanjut Prof. Wisnu, maka akan berkembang menjadi gangguan perilaku dan sifat agresif yang sewaktu-waktu dapat membahayakan pawang maupun gajah itu sendiri.
Situasi ini menunjukkan bahwa adanya batasan jelas mengenai kemampuan dan keamanan gajah untuk bekerja di medan berat. "Kalau terus dipaksa, gajah bisa stres, sakit, dan memunculkan sifat liarnya. Dia bisa melukai orang lain atau dirinya sendiri. Dalam kondisi ekstrem, stres berulang bahkan bisa berakibat kematian," dia menambahkan.
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Gajah Bersihkan Banjir Bancana Sumatra Guru Besar UGM Universitas Gadjah Mada

























