Ilustrasi KDRT berujung penjara (Jurnas/Ilustrasi/PID Polda Kepri).
Jakarta, Jurnas.com - Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) masih menjadi salah satu problem sosial yang kerap ditemui di masyarakat. Bahkan, dalam beberapa kasus KDRT berujung pada cacat fisik hingga kematian.
Dosen sekaligus peneliti Universitas Airlangga (Unair), Bani Bacan Hacantya Yudanagara, mengatakan bahwa KDRT merupakan fenomena yang jauh lebih luas daripada yang tampak pada data. Laporan yang meningkat setiap tahun hanyalah pucuk dari `gunung es`.
"Banyak korban yang tidak melapor ataupun terkadang tidak menyadari bahwa ia sedang mengalami KDRT. Kekerasan itu tidak selalu fisik. Bisa berbentuk kontrol berlebihan, perendahan psikologis, kekerasan seksual, hingga penelantaran ekonomi," kata Bani dikutip dari laman resmi Unair pada Sabtu (13/12).
Bani mengatakan bahwa KDRT terus berlangsung dalam sebuah hubungan tak melulu karena alasan trauma lintas generasi maupun kuatnya nilai-nilai patriarki, melainkan korban yang selalu terjebak dalam siklus kekerasan (cycle of violence).
Fase kekerasan yang eksplosif ini seringkali diikuti masa `honeymoon`, yakni ketika pelaku meminta maaf, membuat janji untuk berubah, atau justru memutarbalikkan kesalahan.
Saudara Rashford Ditangkap Atas Dugaan KDRT
"Siklus ini bisa terjadi ratusan kali. Ketika seseorang berada dalam pola itu bertahun-tahun, ia bisa kehilangan energi untuk membuat keputusan apa pun. Bahkan untuk menyelamatkan dirinya sendiri," ujar Bani.
Selain siklus kekerasan, lanjut Bani, berbagai faktor lain turut membuat korban KDRT sulit keluar dari hubungan yang tidak sehat. Seperti rendahnya harga diri, ketakutan terhadap ekonomi di masa depan, tekanan sosial yang menganggap perceraian sebagai kegagalan, hingga minimnya ruang aman untuk bercerita.
Cegah Pernikahan Dini, Risiko dan Solusinya
"Banyak korban merasa tidak tahu harus mencari bantuan ke mana. Karena itu, pendekatan empatik menjadi sangat penting," ujar Bani.
Adapun dalam konteks pendampingan, Bani mendorong empat langkah penanganan bagi siapapun yang berhadapan dengan penyintas KDRT. Yaitu, mengenali kondisi korban, menanggapi dengan empati, meyakinkan bahwa kekerasan bukan kesalahan korban, serta membantu menghubungkan dengan layanan profesional atas persetujuan korban.
"Kalimat seperti ‘tinggalkan saja’ justru dapat semakin melukai. Kita harus menciptakan ruang aman agar korban KDRT merasa dilihat dan didengar tanpa dihakimi," kata dia.
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
penyebab KDRT kekerasan dalam rumah tangga dosen Unair Bani Bacan Hacantya Yudanagara


























