Jum'at, 12/12/2025 17:08 WIB

Mengapa Debt Collector Dijuluki Mata Elang atau Matel?





Istilah mata elang atau matel nampaknya sudah melekat pada figur debt collector atau penagih utang, khususnya yang beroperasi di jalanan di Indonesia

Debt Collector yang viral rampas mobil yang dikendarai Anggota TNI. (Foto : Jurnas/Screen Shot Video).

Jakarta, Jurnas.com - Istilah mata elang atau matel nampaknya sudah melekat pada figur debt collector atau penagih utang, khususnya yang beroperasi di jalanan di Indonesia. Julukan ini akrab terdengar di jalanan, muncul dalam percakapan masyarakat, bahkan kerap diangkat dalam film hingga media sosial.

Belakangan ini isitilah mata elang (matel) kembali mengemuka setelah adanya pengeroyokan terhadap matel dan perusakan di depan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, pada Kamis (11/12) sore. Terbaru, Polisi memeriksa enam saksi terkait kasus pengeroyokan yang disebut-sebut menewaskan dua matel itu. 

Dikutip dari berbagai sumber, istilah matel yang berasal dari sebutan “mata elang” merujuk pada pihak ketiga yang ditugaskan perusahaan pembiayaan untuk melacak debitur bermasalah. Julukan itu muncul karena mereka dikenal tajam atau jeli melihat dan mengamati lalu lintas untuk menemukan kendaraan kredit yang bermasalah atau menunggak.

Dalam praktiknya, mata elang biasanya terlihat berkelompok di titik-titik jalan strategis sambil memantau nomor kendaraan menggunakan ponsel. Cara kerja itu membuat mereka mudah dikenali publik dan semakin menguatkan penyebutan matel di lapangan.

Sementara itu, posisi hukum debt collector maupun mata elang berada dalam kerangka aturan penarikan kendaraan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-undang ini mengatur bahwa sertifikat fidusia memiliki kekuatan eksekutorial yang setara putusan pengadilan, sehingga penerima fidusia dapat menjual objek jaminan jika debitur wanprestasi.

Namun penafsiran mengenai pelaksanaan penarikan kendaraan sering menimbulkan perdebatan, sebab sebagian pihak menyebut eksekusi harus melalui pengadilan. Perbedaan tafsir inilah yang memicu praktik penarikan sepihak yang kerap dilakukan mata elang di lapangan.

Selain itu, jaminan fidusia hanya sah jika dibuat melalui akta notaris, sehingga tanpa itu kreditur tidak memiliki hak untuk mengeksekusi kendaraan. Kondisi ini menimbulkan ruang abu-abu yang sering dimanfaatkan oknum penagih untuk melakukan tindakan di luar koridor hukum.

Penggunaan pihak ketiga sebenarnya telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP/2012 yang memperbolehkan jasa debt collector selama mengikuti ketentuan kerja sama pihak lain. Aturan tersebut diperkuat oleh PBI No. 13/25/PBI/2011 yang mewajibkan bank memastikan pihak ketiga hanya menagih utang macet dengan keterlambatan lebih dari enam bulan.

Selain itu, pemerintah melalui POJK 35/POJK.05/2018 juga mengizinkan perusahaan pembiayaan memakai pihak ketiga dalam proses penagihan. Namun setiap langkah penagihan wajib diawasi dan dievaluasi untuk memastikan prosedurnya tidak menyimpang.

Meski demikian, citra debt collector dan mata elang terlanjur buruk di mata publik karena praktik penarikan paksa yang sering disertai ancaman bahkan kekerasan hingga menimbulkan konflik. Situasi ini kemudian mendorong lahirnya Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang menegaskan pihak leasing tidak boleh menarik kendaraan sembarangan.

Dalam putusan itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 15 Ayat 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi berkekuatan hukum mengikat. Dengan demikian setiap penarikan kendaraan wajib melalui mekanisme pengadilan dan tidak dapat dilakukan sepihak oleh penagih utang. (*)

KEYWORD :

Debt Collector Mata Elang Istilah Matel Penagih Utang Pengeroyokan di Kalibata




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :